BAGIAN 3

614 36 0
                                    

Calvin berdiri menghalangi langkah kami, menilik Kang Abdu dari ujung rambut sampai kaki dan berakhir dengan menatapku lantas berdecak.

"Siapa Bapak ini?" tanya Calvin padaku.

Padahal gak usah panggil Bapak, Kang Abdu kan gak tua-tua banget. Dari wajahnya aja keliatan kayak umur dua puluh tujuhan.

"Abdu. Panggil saja Abdu," jawab Kang Abdu dibalas anggukkan oleh Calvin.

Posisiku saat ini seperti Milea yang berdiri ditengah-tengah Dilan dan tukang tahu.

Kang Abdu Dilannya, dan Calvin tukang tahu. Maksudnya anak juragan Tahu.

"Pendatang, ya?" tanya Calvin lagi, dijawab satu kali anggukan oleh Akang Duda.

Aku masih diem, nyimak. Gak tahu harus ngomong apa, tapi kesel juga sama Calvin. Kenapa harus datang di waktu yang gak tepat.

"Itu ngapain megang tangan Rosa?" lanjut Calvin.

Elaaah, malah diingetin, jadi lepas 'kan genggaman tangan Kang Abdu. 

"Ros, saya duluan." Kang Abdu melangkah ke arah meja dagangan.

Ada perasaan gak enak hati sama duda ganteng itu. Tapi aku bisa apa.
Mau jelasin, jelasin tentang apa?
Tentang kalau aku sama Calvin gak ada hubungan apa-apa?
Terus, emangnya Kang Abdu butuh itu? Aku sama Kang Abdu kan gak ada hubungan apa-apa.

Andai bisa memilih, aku bakalan pilih Amarjoni.

Calvin masih berdiri menghalangi pandangan. Kalau gini terus aku bakalan gak bisa deket sama Kang Abdu. Nyebelin!

"Suka sama dia, ya?" bisik Calvin.

Aku gak jawab, males. Masa iya harus jujur sama ini cowok.

Menyingkirkan cowok berjaket hoodie hitam ini dari hadapan dan berdiri di samping Kang Abdu. Pengen minta maaf, tapi gak berani. Akhirnya cuma bisa senyum aja pas gak sengaja beradu tatap.

"Gimana, Kang. Bisa masak perkedelnya?" Suara Bi Tacih memecah kecanggungan ini.

Baru nyadar Ceu Ai sama Ceu Ade gak ada, pantes sepi.

"Bisa, Bi," jawab Kang Abdu, terus gak sengaja tatapan kami kembali beradu. Deg-degan lagi, gak enak hati lagi.

"Masak capcay udang, Ros. Itu kesukaan aku," celetuk Calvin nyempil di antara aku dan kang Abdu.

"Kenapa juga harus masak kesukaan kamu."

"Biar biasa, nanti 'kan kamu yang masak di dapur rumah kita."

"Ih." Aku bergidig, mata ini melirik sama Duda di balik punggung Calvin. Kang Abdu cuma diem. Udah gitu tumben belanjanya cepet.

"Permisi," pamit Kang Abdu, mengangguk. Sekilas tatapan kami beradu lagi sebelum kang Abdu berbalik, berlalu pergi.

***

"Jangan di rumah mulu, Ros. Kali-kali main ke luar rumah, nongkrong sama temen. Biar orang tau kalau di rumah Pak Anwar ada perawannya," kata Ceu Ade waktu itu.

Aku duduk di teras, bingung. Mau nongkrong sama siapa, orang teman sebayaku sudah pada gendong anak. Mau ikut baur sama remaja yang hahahihi di depan gang, malu. Keliatan banget wajah tuanya.

Dari sini aku menonton beberapa anak laki-laki main kelereng di halaman tetangga depan rumah. Gak sengaja ujung netra ini nangkap bayangan Kang Abdu lagi jalan menuju ke arah rumah ini.

Ya ampun, begitu indah ciptaan Tuhan yang satu ini, hidung mancung, alis tebel, tinggi, putih di sempurnakan dengan kaus hitam yang ngepas body. Jadi keliatan otot-otot di tangan kekar itu. Ah, harus ritual mutih ini mah.

"Eros."

Pengen nyubit pipi ini, cuma mau mastiin ini beneran atau cuma mimpi, tapi gak jadi. Gak ada bedanya mimpi dan kenyataan. Kang Abdu sama-sama semu. Sulit untuk aku dapatkan.

"Iya, Kang?"

"Boleh duduk?"

Aduh, jangan duduk di sini, Kang. Entar aja sekalian duduk di pelaminan.

"Ya, boleh atuh, Kang. Asal jangan deket-deket."

Kang Abdu tersenyum. Manisnya pol pisan.

"Kenapa?"

"Takut gak bisa lepas."

Kang Abdu tersenyum lagi. Aaah, gemes. "Ros, boleh nanya?"

"Ya boleh atuh, Kang."

"Kenapa ya, perkedel saya pas di goreng buyar?"

Jangankan, perkedel. Konsentrasi aku aja buyar kalau deket sama kang Abdu. Eaak ...! Tarik napas embuskan, aku mencoba menetralkan perasaan. Gak boleh kelihatan suka banget sama duda ini.

"Lah, waktu di tanya Bi Tacih, katanya Akang udah bisa."

"Hehe, iya Ros. Akang kan malu, kalau jawab belum. Orang di sana ada pacar kamu."

Oh, no, no, no. Jadi kang Abdu nyangka Calvin pacar aku? Harus diluruskan ini.

"Pacar?"

Kang Abdu mengangguk.

"Calvin?"

"Iya, mungkin," jawab kang Abdu mengangkat bahu.

"Bukan, dia itu cuma temen Ros."

"Oh, syukur atuh."

Kok, syukur? Apa ini sebuah pertanda lampu hijau berkedap-kedip?

Detak jantung terus bertalu hebat. Gak tahu kenapa malah makin kencang saja detakkannya tiap kali tatapan kami bertabrakan.

Kadang Kang Abdu tersenyum melihat keseruan di depan rumah, ketika para anak kecil itu berlari main kucing-kucingan.

Sampai tak terasa kemerehan mulai tampak di ufuk barat sana. Sedang kami masih terdiam. Bingung, mau ngomong apa lagi. Seolah otak ini gak punya daya pikir untuk memulai obrolan baru.

"Akang pulang dulu ya, Ros."

Aku mengangguk, membiarkan punggung kang Abdu menghilang di kejauhan.

"Perkedelnya?" Baru inget, kan tadi lagi bahas perkedel. Ck! Eros, Eros. Kenapa jadi eror gini.

"Siapa, Ros?"

Aku menoleh, Emak membawa semangkuk mie rebus dan duduk di sebelahku.

"Kang Abdu, Mak."

"Oh, kamu udah tau Calvin pulang dari kota?"

Aku mengangguk, mencicipi mie dengan sendok yang dipakai Emak tadi.

"Tadi Calvin ke sawah. Bantuin ngusir burung. Calvin baik, ya."

Aku terdiam mencoba mengartikan apa yang dikatakan Emak. Dari dulu, Emak selalu menceritakan hal baik tentang Calvin. Bahkan, tak segan untuk mengundang anak juragan Ferdi itu ke rumah.

"Emak memang menyuruh kamu agar cepat menikah, tapi bukan berarti asal menerima lelaki yang belum jelas bibit, bebet dan bobotnya."

Aku menghela napas panjang. Kembali menyeruput kuah mie dari sendok.

***

Pesona Akang Duda (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang