Semenjak kunjungan Kang Abdu sore itu, Bapak memintaku untuk enggak banyak main ke luar. Katanya jangan nongkrong-nongkrong di warung.Nyesel kemarin cuma dengerin setengah dari obrolan mereka, gegara Emak manggil minta bikinin kopi buat Bapak. Waktu aku bawain yang diminta Emak ke meja tamu mendadak Bapak dan Kang Abdu berenti ngobrol.
Usai sarapan, Bapak dan Emak pamit pergi ke sawah. "Bikin perkedel, ya," pesan Bapak. Tumben.
Emak cuma diem aja, ada raut gak suka di wajah wanita yang melahirkanku itu, mungkin karena Bapak meminta menu yang gak biasanya.
"Iya, Pak." Aku mencium tangan kedua orang tua itu.
Aku berdiri di ambang pintu sampai punggung Emak dan Bapak benar-benar hilang dari kejauhan.
Sekarang cuss ke kamar! Bedakkan, terus dilipstik dikit biar bibir ini gak terlalu pucat. Otewe warung Bi Tacih.
*
Bagai disiram seribu kelopak bunga mawar, ketika aku melihat punggung pria yang selalu bikin hati dug-dug-ser di warung Bi Tacih. Jadi malu mau nginjekin kaki ke warung."Huaheeem ...!" Deheman keras Ceu Ade mengalihkan pandangan orang yang berada di sekitar menoleh padanya.
"Kenapa, Ceu?" tanya Ceu Ai. Sedang Kang Abdu sepertinya belum menyadari kehadiranku.
"Keselek duren."
Ceu Ai sama Bi Tacih terkikik, begitupun Kang Abdu, dia tersenyum kecil hingga ketampanannya bertambah berkali-kali lipat dan kembali memilih sayur.
Lagi pula ada-ada aja Ceu Ade ini, orang yang dimakan dia itu pisang goreng.
"Masuk atuh, Eros. Malah diem di situ," ucap Ceu Ade hingga Kang Abdu menoleh ke belakang dan tatapan kami pun beradu.
"Aih, kalian tuh bikin Ibi inget masa mudanya Ibi sama Mang Oding."
Ih, apaan sih, Bi Tacih ini. Jadi Kang Abdu ngalihin pandangannya.
Aku melangkah, mendekati meja dengan debaran yang semakin tak karuan saja.
"Eros belanja apa?" tanya Kang Abdu, bibirku yang dari tadi ngulum senyum, terbuka.
"Beli kentang, Kang." Aku mengambil asal sayuran di meja.
"Itu mah Timun, Eros!" seru Ceu Ade.
Alah, Gusti. Cepat aku menyimpan kembali timun ke antara sayur lainnya. Gak berani lihat Kang Abdu, takut kelihatan malunya.
"Kentang tuh yang bulet lonjong, Ros. Bukan yang panjang," terang Ceu Ade.
Nyebelin, udah tahu aku malu malah sengaja bahas itu muluk. Mana sambil nertawain lagi.
"Mau bikin apa gitu, Ros?" tanya Kang Abdu.
"Perkedel kentang."
"Oh." Kang Abdu menyimpan kentang yang tadi di genggamnya. "Bi, saya beli ayamnya saja."
Kang Abdu membayar dengan selembar uang seratur ribu. "Kembaliannya buat bayar belanjaan Eros saja."
"Gak usah, Kang. Eros bawa uang kok," sergahku, gak enak dia kan cuma beli ayam seperempat kilo masa kembaliannya buat aku semua.
"Iya, Kang Abdu gak usah, mending uangnya kumpulin buat biaya nikah."
"Eak!" seru Ceu Ai dan Bi Tacih menanggapi ucapan Ceu Ade.
Aku cuma bisa senyum-senyum saja sambil nyuri pandang sama Kang Abdu yang ternyata lagi curi pandang juga. Aaah, Akang!
Uang dari Kang Abdu masih nyisa, kata si Akang simpen saja buat beli kopi nanti sore.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pesona Akang Duda (SUDAH TERBIT)
Humor"Cieee ...," ledek Ceu Ade dan Ceu Ai kompak. Nah, kan. Nyebelin. "Jiwa kejomloan Eros meronta-ronta," lanjut Ceu Ai. "Membuatnya tak mampu bertahan dalam kesendirian." Ceu Ade menambahkan. Aku menatap datar kedua makhluk gempal itu. Mengikhlaskan...