Seorang Luna

249 36 14
                                    

"Lebih baik menutup telinga, daripada dekati bahaya."

***

Hariku benar-benar melelahkan, aku segera mengambil tas dan bergegas ke parkiran dan segera melajukan motor baruku. Gemini terlihat tengah menunggu di halte, aku memberhentikan motorku di depannya.

"Menunggu bus datang?" tanyaku basa-basi.

Gemini tersenyum. "Lo mau nganter gue, ya?" tanyanya.

Aku tertawa kecil, gadis seperti Gemini ini orang yang memiliki percaya diri yang tinggi. "Yakin banget aku nyamperin buat nganterin," ucapku diiringi dengan tawa kecil.

Dia ikut tertawa dengan pipi yang perlahan berubah warna. "Jadi, ngapain?" tanya Gemini dengan menutup pipinya.

Aku menepuk bagian belakang motorku. "Aku mau nyari orang yang mau duduk disini," ucapku dengan senyum andalan.

Gemini tertawa lebih keras. "Oh gitu ... udah ketemu belum?"

"Belum nih, belum ada yang nyalonin," ucapku sambil pura-pura melihat sekitar.

Gemini duduk dengan santai di belakangku. "Kalau gue yang jadi calon, gak masalah kan?"

Aku tak membalas, seseorang menarik perhatianku. Seorang berambut sebahu berjalan pelan dengan pakaian khas Belanda.

"Dev, lo liat apa sih?" Suara Gemini mengalihkan pandanganku

"Ah nggak, rumah Kamu dimana?" tanyaku yang langsung dijawab Gemini.

Aku segera melajukan motorku ke alamat yang dikatakan Gemini. Motorku berhenti tepat di depan rumah minimalis dengan nuansa rumah Belanda. Gemini mengucapkan terima kasih dan langsung masuk ke rumah itu.

Sebuah bayangan di jendela rumah seakan menyambut Gemini. Wanita, membawa boneka, dan dia tersenyum pada Gemini. Aku berani bertaruh, Gemini tak bisa melihat wanita itu.

***

Aku melangkah tergesa-gesa menuju kelas, bel sudah berdering beberapa detik yang lalu. Aku sempat menabrak punggung siswa lain, saking tergesa-gesa.

Aku berhenti mengatur napasku di depan pintu kelas. Gemini kebetulan ada di depan pintu, ia menatapku heran. "Sepertinya, gue dah lama liat lo, kok bisa baru nyampe kelas?" tanya Gemini padaku yang masih mengatur napas.

Aku berdiri tegak. "Kantin," ucapku singkat sambil berjalan santai masuk kelas.

Ini hari keempat aku belum bertemu dengan seatmateku. Tidak ada kepastian apa yang terjadi padanya, namun pak Hendra selalu bilang jika ia izin. Baiklah, kemungkinan memang akunya yang ditakdirkan untuk duduk sendiri. Aku duduk sambil mengeluarkan buku dan alat tulisku yang lain, seperti murid yang lain.

"Ehm ... permisi." Suara halus itu terdengar samar, aku menoleh dan melihat seorang gadis dengan rambut lebih dari sebahu dan membawa sebuah buku berdiri memandangku, ehm atau sepatuku?

"Itu tuh yang jadi seatmate lo, Dev!" teriak Rio dari mejanya.

Oh, ini nih yang bakal jadi seatmateku. Aku bangkit untuk mempersilahkan ia duduk di bangku sebelahku dan kemudian aku mengulurkan tangan kananku padanya.

Ia hanya memandang tanganku tanpa mau membalasnya. "Namaku, Devano Christan Dee," ucapku dengan senyuman, mungkin saja ia mau menjabat tanganku.

Gadis itu duduk dan menaruh tasnya. "MAKAN TUH KAU KACANG!" pekik Gino dengan kuat dari bangku sebelah Rio.

Aku tahu maksud itu, baiklah gadis ini sombong. Aku kembali duduk dengan wajah kusutku. Pak Hendra masuk di menit berikutnya dan langsung memulai pelajaran. Sesekali aku melirik ke gadis disebelahku ini, wajahnya yang tenang dengan ah, mata itu! Mata yang mirip, sangat mirip.

La Luna (duee)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang