Awake

504 74 4
                                    

YERIM berjalan keluar dari kantor direktur dengan langkah lunglai. Wajahnya yang biasa dihiasi senyum cerah mendadak murung. Manajer Kim yang menemaninya berjalan di samping Yerim dengan hati-hati. Sedari tadi sibuk membujuk Yerim untuk memikirkan ulang keinginannya keluar dari grup.

Suara sang Manajer kedengaran seperti dengungan lebah yang berisik. Yerim muak. Isi kepalanya dipenuhi kekacauan sekarang dan kata-kata yang keluar dari celah bibir manajernya sama sekali tak membantu.

"BISAKAH KAU DIAM?!"

Pria di samping Yerim terperangah, jelas tak menyangka gadis mungil itu akan berteriak padanya. Koridor yang sepi menyelamatkan mereka dari pandangan orang-orang. Yerim menyadari perbuatannya, mengembuskan napas panjang untuk membuang amarahnya. Senyum kembali terpeta di wajahnya yang pucat. Kali ini bukan senyum cerah, tapi senyum lelah.

"Aku tidak akan keluar dari grup, Oppa," kata Yerim dengan nada bergetar. "Kumohon, jangan mengatakan sesuatu dan biarkan aku sendiri."

Tatapan mata memohon dari artis asuhannya membuat Manajer Kim membungkam mulutnya. Pria itu mengangguk, membiarkan Yerim melempar senyuman gemetar sebelum menjauh pergi. Dia menatap punggung mungil Yerim yang perlahan menjauh dari koridor, sama sekali tidak mengenali sosok gadis yang sudah dia anggap adik sendiri. Punggung Yerim terlihat rapuh, jauh, dan tak terengkuh.

Seketika, dia merasa asing dengan Kim Yerim.

"Apa yang terjadi denganmu, Yerim?"

Pria itu tidak pernah menyangka kalau dia akan menerima jawabannya dalam bentuk kabar buruk beberapa jam kemudian.

Yerim mengabaikan semua dering ponselnya, mengabaikan sudah berapa lama dia duduk di bawah pancuran air di kamar mandinya yang menyala, mengabaikan tubuhnya yang mengigil dan ujung jarinya yang membiru, mengabaikan pakaiannya yang basah kuyup dan lengket. Dia bergeming, menatap datar pada dinding keramiknya yang putih bersih. Kepala dan punggungnya bersandar ke dinding sementara aliran air dingin terus membasahi tubuhnya.

Dia menekuk lutut, menggunakan kedua lengannya untuk memeluk lututnya sendiri. Yerim memikirkan semua yang telah dia hadapi beberapa tahun terakhir. Masa-masa dia menjadi trainee, debutnya, semua hujatan yang dia terima, teman-temannya yang datang dan pergi, masalah yang menimpa grupnya, caci maki yang dia telan bulat-bulat tanpa pernah benar-benar menyembuhkan diri dari rasa sakitnya.

Yerim ingat, dia hanya bersikap profesional. Dia berdiri tegak, menyambut semua luka, menerima semua tekanan, dan keluar sebagai pemenang. Setidaknya, itulah yang orang-orang pikirkan tentang Kim Yerim. Gadis yang selalu memasang senyum cerah, memancarkan gemerlap terang, berkilau seperti bintang-bintang.

Yerim tertawa. Tawa sarkastiknya bergaung di kamar mandinya yang sepi, tenggelam di balik suara kucuran air yang terus mengalir deras. Dia tidak pernah keluar sebagai pemenang.

Yerim bangkit, berjalan perlahan menuju wastafel. Air menetes dari ujung pakaiannya, membuat jejak basah di lantai kamar mandinya. Yerim menatap bayangan dirinya di cermin wastafel, tertawa lagi.

Lihatlah! Kim Yerim —yang asli— sangat menyedihkan. Gadis itu tidak lagi memancarkan cahaya, justru tenggelam dalam lubang gelap tak berdasar. Dia tak lagi berkilauan, hanya serupa cangkang kosong tak bermakna. Dia, Kim Yerim, bertahan selama bertahun-tahun dengan menutupi semua kesedihannya, membunuh perasaannya. Sebagai gantinya, Yeri yang tersenyum cerah muncul di depan media. Jauh, jauh di dalam lubuk hatinya yang paling dalam, Yerim tenggelam dalam sunyi tak berdasar.

Yerim telah lama kalah dalam pertarungan.

Ting!

Yerim melirik ponselnya yang diletakkan di atas wastafel. Notifikasi pesan dari Sooyoung muncul.

{✓} SCINTILLATE | 𝖪𝗂𝗆 𝖸𝖾𝗋𝗂𝗆 |Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang