Part 1

74 4 3
                                    

  Bel sekolah berbunyi menandakan masuk kelas. Valerie berlari menaiki anak tangga. Kelas di lantai empat membuat jantungnya berdebar begini setiap hari. Entah kenapa meskipun alarm berbunyi, ia tetap tidak bangun.

Setelah menaruh tasnya di loker, ia langsung cepat-cepat masuk ke dalam kelas.

"Loh, gurunya mana ?" Tanya Valerie, ia bingung karena keadaan kelas ramai tanpa adanya guru.

"Gurunya absen." Sergio menjawab singkat. Sikapnya yang selalu dingin membuat Valerie terbiasa dengan hal itu. Namun ia tahu bahwa hatinya hangat meskipun sikapnya begitu.

Entah ini hanya beruntung, atau yang lainnya, tapi Valerie merasa lega.

"Eh.. pulang nanti kita makan es krim bareng yuk!" Valerie melihat ke arah dua lelaki yang belum sempat ia temui kemarin.

"Ya. Boleh. Tapi sebelum itu, temenin aku sama Sergio latihan basket ya ?" Matthew yang menjawab kali ini. Cowok yang biasa dipanggil 'Memet' itu selalu merasa semangat jika kedua teman perempuannya itu menemani mereka latihan.

Thea yang duduk dibelakang Valerie mengangguk setuju. Mereka berempat terus saja memiliki hal-hal baru untuk dibincangkan. Maklum, pertemanan mereka sudah sejak kecil. Kalau dilihat dari kedekatan mereka, sangat mungkin kalau dibilang sudah sejak bayi mereka berteman.

Hari menjelang sore, dan latihan basket sudah selesai. Sekolah menjadi sepi. Valerie dan Thea sangat bersemangat meski ini sudah sore. Mereka bersama pergi ke kedai es krim dekat sekolah mereka. Mereka memanfaatkan letak sekolah mereka yang strategis, dekat dengan apa saja.

Seperti biasa, mengambil tempat duduk di dekat jendela, dan memesan apapun yang mereka sukai. Matahari sore masuk lewat jendela, menyinari lembut keberadaan empat kawan itu. Di tengah perbincangan, Valerie pergi ke toilet, dan tak menyadari sepersekian detik setelah ia pergi, seseorang datang.

Ia hanya terpisah dua meja dari Valerie dan gengnya. Tak lama segerombol laki-laki datang dan bergabung dengannya.

"Hari ini aku yang traktir dong !" Kata lelaki yang terlihat seperti pemimpin di dalam kelompok itu. Aura 'caper' nya membuat Thea melirik kelompok itu.

"Eh.. itu bukannya cowok yang ...kemarin !?" Thea baru menyadari sesuatu. Ia menatap wajah Memet dan Sergio. Keduanya hanya terdiam, seperti kesal.

"Iya bener. Itu dia si 'artis' yang menjadi bintang lapangan kemarin. Padahal enggak ada yang tahu kalau dia bermain curang, seperti sampah." Sergio membanting sendok ke piring nya. Ia menyandarkan tubuhnya ke kursi.

"Udah biarin aja.. itu kan udah berlalu." Memet disampingnya berusaha menenangkan. "Lagian masih ada pertandingan yang lebih seru lagi kan? Lebih baik fokus latihan dulu."

Sergio mengangguk. Valerie yang baru kembali dari toilet, langsung melontarkan beberapa pertanyaan, melihat kondisi raut wajah kedua lelaki di hadapannya yang kusut.

"Ituloh.. kamu liat gak cowok sama gengnya.. arah jam 1 kamu." Thea sambil mengacungkan jarinya.

Valerie hanya melihat samar-samar wajah laki-laki itu. Lupa memakai kacamata membuatnya kesusahan mengenali wajah mereka. Tapi dia jelas melihat ada satu lelaki memakai hoodie hitam, dan rasanya dia mengenalnya

"Iya aku liat. Emangnya kenapa ?" Tanyanya penasaran.

"Itu lawan mainnya Sergio sama Memet di pertandingan kemarin." Thea menjelaskan. "Katanya dia bermain curang." Raut wajah Thea juga ikut kesal.

"Memangnya namanya siapa sih? aku pengen tau.." Valerie sangat serius sekarang. Berharap jawaban Sergio bisa menjawab rasa penasarannya dari kemarin.

"Emangnya kenapa? Kamu nge-fans sama dia ?" Matthew menggoda perempuan itu. Valerie menghela napas seakan berkata bahwa sekarang bukan waktunya untuk bercanda.

"Leonardo Rayner."

DEG!
Seketika Valerie menahan napasnya. Jawaban dari Sergio itu membuat waktu seakan berhenti berputar, membuat semuanya membeku. Nama itu justru mengingatkannya akan masa lalu nya. Masa lalu yang berusaha ia lupakan, namun entah kenapa datang lagi ke hadapannya. Sekali lagi gadis itu melirik ke arah laki-laki yang terlihat seperti 'alfa' dalam geng itu. Ketiga teman Valerie bingung bukan main akan perubahan sikap Valerie yang begitu drastis. Dari banyak bertanya, menjadi sangat diam.

"Eh.. aku pulang dulu ya." Valerie ragu-ragu mengatakannya. Namun ia langsung pergi begitu saja, meninggalkan Thea, Matthew, dan Sergio yang kebingungan, saling melirik satu sama lain.

Valerie pergi berteduh ke halte bus. Tangannya masih bergetar, dan napasnya masih tidak beraturan.

"Enggak mungkin itu dia !" Pikirannya masih tidak percaya. Tapi disisi lain, hatinya merindukan sosok itu. Di sisa waktu, Valerie hanya duduk melamun di halte bus yang sepi. Hanya langit mendung yang menemani perempuan itu.

Selang beberapa menit, seseorang datang ke halte bus itu. Valerie tidak menyadari nya. Orang itu duduk di sebelahnya.

"Lindley, benar bukan ?" Suara itu memecah lamunan Valerie. Suara yang pernah ia dengar itu membuatnya merinding.

Perlahan ia menoleh ke arah laki-laki yang berbicara barusan. Mereka saling menatap satu sama lain. Valerie tidak menyangka apa yang dia lihat, benar itu dia.

"Leon..."

.
.
.

Makasih udah baca ;)
~Nia

Promise meTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang