Part 5

41 3 3
                                    

"Taruh semua buku kalian di meja guru! Sekarang waktunya ulangan!" Kata Bu Ningsih tegas, sembari membagi kertas ujian.

"Lha? Kok mendadak ya?" Matthew memasang muka cemberut. Valerie yang duduk dibelakangnya tertawa.

"Kamu enak, udah pinter. Langsung disikat ulangannya." Matthew menghela napasnya perlahan sambil membanting bolpoin nya ke meja. Valerie menahan tawanya melihat wajah laki-laki itu.

Valerie lebih memilih untuk duduk didepan semenjak Leon datang. Leon yang selalu memilih tempat duduk dibelakang otomatis diikuti oleh perempuan-perempuan lainnya. Ketika pagi hari, tempat duduk di belakang sudah penuh dengan perempuan yang ingin dekat dengan lelaki yang biasa dipanggil 'Ray' itu, selalu begitu. Belum lagi semua lelaki di kelas sudah berteman dengannya. Bahkan Sergio, jika dilihat dari raut mukanya, sepertinya ia sudah tidak dendam lagi padanya.

Leon yang duduk dibelakang terus melihat ke arah Valerie yang tertawa dengan laki-laki di depannya itu. Ia mengerutkan dahi nya, sejujurnya sedang dalam mood yang tidak enak hari ini. Laki-laki yang dingin itu ingin sekali duduk dengan gadis yang dipanggilnya 'Lindley', seperti hari pertama ia tiba disini.

Semua langsung mengerjakan dengan serius ketika kertas ulangan sudah sampai di hadapan mereka. Seketika kelas menjadi sangat tenang. Bu Ningsih mengawasi dengan teliti kelasnya.

Leon melamun melihat kertas ulangan didepannya. Ia tidak tahu apa yang harus ia perbuat. Lamunan nya terpecah karena melihat seseorang yang janggal sekali kelakuannya.

Dengan posisi duduk yang miring ke kiri, dan kepala nya yang sesekali melihat ke arah kertas ulangan teman disebelah kirinya, sesekali juga ia menoleh ke arah Bu Ningsih.

Wali kelasnya tidak sengaja menyenggol buku di sebelahnya. Ia menundukkan kepalanya agar bisa mengambil buku itu. Seketika laki-laki berperilaku aneh tadi langsung melihat ke arah kertas ulangan perempuan di sebelahnya, kemudian menyalin jawabannya.

Leon duduk dengan tegap setelah melihat hal itu. Ia cepat-cepat mengeluarkan bolpoin dari kotak pensilnya. Ia menutup salah satu matanya, membidik sasarannya.

"Aduh !" Teriakan sontak dari laki-laki itu sanggup membuat sekelas menoleh kearahnya. Ia mengelus-elus kepalanya. Satu lemparan dari Leon tepat mengenai kepalanya. Bu Ningsih memunculkan kepalanya dari balik meja guru setelah berhasil mengambil bukunya.

"Aron, ada apa ?" Bu Ningsih bertanya padanya, matanya melotot.

"Eh.. enggak bu." Laki-laki yang dipanggil 'Aron' itu menundukkan kepalanya malu. Valerie yang duduk disebelahnya melirik ke arah laki-laki itu, kemudian kembali serius dengan kertas ulangannya. Laki-laki itu sesekali melihat ke arah belakang, bertanya-tanya siapa yang melempar tadi.

Beberapa menit kemudian laki-laki itu kembali melakukan aksinya untuk mendapatkan jawaban. Leon tahu, karena ia tidak berhenti mengawasi Aron.

Leon kembali melakukan hal yang sama, membuat Aron dibentak oleh Bu Ningsih. Para siswa sesekali menahan tawa mereka, melihat Aron yang mukanya merah padam karena malu. Ia pun kembali melihat ke arah belakang, namun tidak ada siapapun yang terlihat mencurigakan. Aron mengurungkan niatnya untuk kembali menyontek.

"Aku masih punya banyak bolpoin kalo kau mau." Gumam Leon pelan. Satu sudut bibir nya terangkat. Tidak ada yang tahu Leon yang melempar bolpoin tadi.
"Jika kau mau, contek saja orang lain, jangan Lindley !" Katanya pelan.
.
.
.

Suara peluit guru olahraga memenuhi gor sekolah. Anak-anak berkumpul mendengarkan instruksi dari sang guru yang menyuruh mereka berkelompok untuk bermain basket.

Leon tersenyum, tentu saja ia sudah tahu ingin berkelompok dengan siapa.
Ia berjalan menuju Valerie sambil membawa bola basket.

Langkahnya terhenti ketika melihat para perempuan menghadangnya di depan.

Promise meTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang