#02 Berkenalan

61 3 0
                                    

Apa aku masih mampu untuk menampung orang baru lagi?

Adira Tishabriella

Adira’s POV

Waktunya pulang sekolah, seperti biasanya aku akan pulang naik angkot. Bingung ya kenapa orang seperti aku naik angkot, meskipun orang tuaku adalah orang yang mapan, aku tetap saja ingin menjadi manusia yang sederhana. Karena menurutku sederhana itu lebih baik, daripada mengumbar-umbar kemewahan yang kita miliki, aku belajar itu semua juga dari kedua orang tuaku.

Tapi sudah sepuluh menit aku menunggu angkot, tetap saja angkot tidak ada yang lewat, aneh. Aku pun mulai membuka ponselku dan mengetik beberapa kata kepada nomor papa untuk meminta tolong menjemputku pulang.

Brum... Brum...

Suara motor mengganggu pendengaranku, aku menengok dan seseorang yang mengendarai motor tersebut membuka helmnya, dan orang itu adalah orang yang dompetnya jatuh tadi! Ah sial, kenapa aku harus ketemu dengan dia? Tunggu sebentar deh, kenapa aku harus kesal?

"Hai." sapa Resta kepadaku.

Aku hanya diam saja seperti biasa.

"Gue Faresta Gentadiro, panggil aja Resta." ucapnya memperkenalkan diri sambil mengulurkan tangan kanannya untukku sebagai simbol perkenalan yaitu "berjabat tangan".

"Aku udah tahu." balasku.

Tangan kanannya dia taruh kembali disamping pinggangnya, aku sedikit merasa bersalah karena tidak mau berjabat tangan dengannya.

"Nama lo Adira kan?" tanya Resta.

Aku mengangguk dan memberikan senyum tipis tanpa aku sadari, dan untungnya senyuman tipisku itu tidak terlalu kelihatan jadi aku tidak perlu merasa malu.

"Mulai hari ini kita jadi teman!" tuturnya dengan semangat menggebu-gebu.

"Apa?" sudah jelas aku kaget dengan penuturannya yang sangat-sangat tidak masuk akal.

"Mulai hari ini kita jadi teman." ulangnya lagi. Sedikit kesal aku kepadanya karena mungkin dia mengira aku budek, padahal aku kaget bukan budek. Dia tidak bisa bedakan itu apa ya?

"Gak bisa!" ketusku.

"Loh kenapa? Kalo gue ngomong sama cewek-cewek yang lain pasti mereka langsung nyetujuin kalo gue minta duluan untuk temenan sama mereka, sedangkan lo? Lo beda." ujar Resta.

"Ya jelas aku bedalah dengan mereka. Orang tuanya saja berbeda, cara mendidik anaknya juga pasti berbeda." balasku.

"Karena itu gue pengen banget jadi temen lo!" seru Resta.

"Kenapa harus sama aku? Kenapa gak sama cewek-cewek yang lain? Yang mengidolakan kamu, misalnya."

"Karena lo beda. Minta nomor telepon lo dong." pinta Resta.

"Enggak! Kamu bukan siapa-siapa aku tahu!" ketusku.

"Gue sekarang udah jadi temen lo, jadi gue harus punya nomor telepon lo." ucap Resta.

"Aku kan belum mengiyakan ajakan kamu tahu." kesalku.

"Siapa yang ngajak lo? Gue maksa lo buat jadi temen gue." ucap Resta seenaknya.

"Ish, gak mau! Kamu kan juga udah punya temen." bantahku.

"Kan baru temen cowok, temen cewek belum."

"Pokoknya aku gak mau! Jangan paksa aku!" ucapku dengan nada tinggi, aku heran kepada diriku sendiri karena aku tak biasanya marah-marah seperti ini apalagi dengan orang yang baru kukenal. Tapi, manusia satu ini sepertinya memang harus aku maki-maki terlebih dahulu deh agar dia paham.

Introvert GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang