MANG COMBLANG #5

1.6K 268 181
                                    

"Maaf.”

Alih-alih langsung menanggapi, Andien hanya tercenung, menatap lelaki yang duduk di hadapannya. Salah satu dari si kembar. Seperti yang sudah dia duga, tujuan mereka berdua mendekatinya memang tidak murni karena tertarik.

Paling tidak salah satu sudah mengaku.

Walau malas, dia memenuhi juga ajakan Banyu untuk makan malam. Dan dia sama sekali tidak kaget mendengar pengakuan lelaki itu. Tepat seperti prediksinya. Pun, tetap saja membuatnya tidak nyaman. Siapa yang akan baik-baik saja ketika seorang lelaki berterus terang kalau tujuannya mengajak berkencan adalah demi wanita lain? Tidak ada. 

Itu brengsek.

“Aku brengsek,” lanjut Banyu.

“Iya, kamu memang brengsek,” gumam Andien seraya membuang napas, “untung sejak awal aku cukup tahu diri jadi tidak terlalu kaget. Hanya orang gila yang benar-benar percaya kalau kamu mendekatiku karena diriku.”

Sedikit kaget mendengar tanggapan Andien, Banyu menatap mata wanita itu dan dadanya serasa digebuk dengan kayu ketika melihat sorot sinis dan sakit hati di sana.

Ini rupanya yang dilihat Damar dan membuat si pemakan kaos kaki itu ngamuk. Kami berdua memang benar-benar brengsek.

Semula dia tidak ingin mengakui semua kepada Andien, dia hanya berniat makan malam lalu selesai. Namun kembarannya itu memaksa dengan sangat serius agar dia paling tidak jujur mengakui motifnya.

“Dia berhak paling tidak tahu motif kita sebenarnya,” Begitu kata Damar.

“Aku memang brengsek. Brengsek sekali. Maaf.”

Alih-alih marah, Andien hanya mengangguk.

“Tak apa, paling tidak aku sudah lega. Tidak perlu lagi bertanya-tanya apa alasanmu mendekatiku.”

“Tetapi menurutku, tidak perlu orang gila untuk percaya bahwa mungkin saja orang sepertiku mendekatimu karena kamu. Kalau saja aku belum cinta mampus dengan teman masa kecilku, yakinlah, kamu akan masuk radarku.”

Aniden tersenyum miring, sinis.

“Aku serius. Kamu manis, pintar, dan asyik diajak berdiskusi.”

“Asyik diajak berdiskusi? Berdiskusi denganku saja kamu belum pernah.”

“Memang. Tetapi Ziva berulangkali mengatakan itu.”

“Mungkin saja aku menjadi teman yang asyik buat berdiskusi dengan Ziva karena ada bayarannya.”

“Bisa jadi. Tetapi aku pikir Ziva tidak bodoh untuk membedakan mana sikap yang tulus dan mana yang karena berbayar.”

Pelayan datang membawa pesanan mereka. Restoran makanan Vietnam ini adalah salah satu tempat makan kesukaan Banyu.

“Okay, aku iyakan saja biar kita cepat selesai. Mari makan,” ucap Andien cepat seraya mengambil sumpit dan mulai mengaduk Pho, masakan mie khas Vietnam.

Banyu sudah membuka mulut, hendak mengatakan untuk apa terburu-buru, urung. Dia memang salah dan Andien berhak untuk sinis bahkan bersikap kasar sekalipun. Kalau memang gadis itu tidak nyaman bersama dengannya, yang mana itu wajar mengingat apa yang dia lakukan, ya dia bisa apa selain menurut saja.

“Ya mari makan.”

~*~

“Apakah kamu ada waktu?”

Damar yang baru saja datang ke café, menoleh dan mengerutkan kening menatap Tabitha.

“Ada apa, Tabby? Ada masalah?” jawabnya seraya berusaha memasang wajah biasa saja. Entah mengapa perasaannya tidak enak.

Cafè The 'LilsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang