"Hatiku tenang mengetahui apa yang melewatkanku tidak akan pernah menjadi takdirku, dan apa yang menjadi takdirku tidak akan pernah melewatkanku." Umar Bin Khatab
Indira Velycia Hadiningrat
"Selamat ya," aku membawa bunga mawar merah yang sudah layu setelah sebelumnya kudiamkan. Mawar merah itu kudiamkan di atas meja riasku bersama cincin yang pernah kamu sematkan di jari manisku. Sebenarnya aku tak ingin melangkah kemari, namun aku tak ingin dianggap kalah olehnya yang berhasil membuatku patah. Akhirnya kumantapkan diri untuk menemuinya yang terakhir kali. Iya semoga terakhir kali. Semesta, kumohon, berpihaklah padaku.
Setangkai merah itu berhasil mendarat di tanganmu, lalu kamu tersenyum dan mengulurkan tangan. Berat membalas uluran tanganmu namun harus kulakukan. Bibirku berusaha keras untuk melengkung. Aku juga telah memaksa mataku untuk sebisa mungkin menahan cairan bening itu keluar.
Terakhir aku melihatmu tersenyum adalah ketika tanganmu menyematkan cincin di jari manisku dan aku menyematkan cincin di jari manismu lalu kamu mencium keningku. Ini adalah senyuman bahagia yang kulihat lagi setelah pertengkaran itu terjadi, dan kamu memilih pergi.
"Terima kasih sudah datang, semoga lekas menyusul," Ucapmu enteng. Semudah itukah melupakan apapun yang pernah terjadi diantara kita?
Aku hanya mengangguk, lalu aku beralih pada seseorang perempuan yang berdiri di sampingmu dengan memakai baju pengantin yang seharusnya untukku.
Perempuan itu melihatku dengan sedikit rasa bersalah, ahh aku tidak suka melihat wajahnya yang seperti itu. Bukan dia yang salah, bukan. Hanya saja waktu yang terlalu lama menyembunyikan perasaannya. Ini hari bahagianya, hari yang selama ini ditunggu olehnya, setelah bertahun-tahun lamanya dia memendam perasaannya pada akhirnya orang yang ditakdirkan menjadi miliknya kembali padanya.
Aku mengulurkan tanganku, dia melihat tanganku sebentar lalu memelukku. Tangisnya pecah di bahuku, aku bisa merasakannya.
"Maaf, Ra." ucapnya pelan di sela-sela isaknya. "Aku bener-bener harus minta maaf sama kamu Ra," lanjutnya.
Aku menepuk-nepuk bahunya. "Udahlah. Tidak apa-apa. Berbahagialah dengannya. Jaga Bian. Dulu, kamu jauh lebih sering terluka melihat Bian bersamaku. Benar kan? Lagian sekarang aku lega karena melepasnya aku bisa menyelamatkan hati seseorang," Siapa bilang kata-kata itu benar-benar keluar dari mulutku? Siapa bilang aku tegar? Dalam hatiku juga teriris, menahan perih. Namun, sungguh aku merasakan aura kebahagiaan keduanya, aku juga bisa merasakan cinta yang tulus dari keduanya, dan itu cukup membenarkan pilihanku untuk pergi.
Hatiku tenang mengetahui apa yang melewatkanku tidak akan pernah menjadi takdirku, dan apa yang menjadi takdirku tidak akan pernah melewatkanku.
~~~~
Lelah. ini acara pernikahan paling melelahkan sepanjang sejarah hidupku. Selain lelah karena perjalanan jauh, hatiku juga lelah membayangkan betapa pura-pura tegarnya aku saat bertatap muka dengan Bian. Lagi-lagi kupandangi undangan pernikahanmu dengan wanita itu. Rasanya hampir seperti mimpi. Nama yang seharunya ada dalam undangan itu adalah namaku. Bagaimana mungkin wanita lain bisa bersanding denganmu.
Aku tidak ingin melihatnya lagi. Kuhempaskan undangan itu ke arah tempat sampah di depan teras rumahku. Lalu aku masuk begitu saja dan membanting tubuhku di sofa. Aku memejamkan mataku dan merasakan setiap hembusan angin yang menerpa wajahku. Ada apa ini? Ada apa dengan perasaanku? Jelas-jelas aku sudah mengikhlaskannya,lalu mengapa aku masih memikirkannya?
Tak lama, aku mendengar suara kaki dari arah tangga. Sudah jelas. Freya. Sahabat sekaligus sepupuku. Ya, aku memang berbagi segalanya pada Freya. Dia tahu semua tentang Bian. Hingga pertengkaranku dengannya malam itu. Aku menceritakan semuanya. Hanya kepada Freya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Waktu yangMembawamu Pergi
Ficção AdolescenteBagiku, waktu itu sungguh kejam. Tanpa ampun dia membuat semua yang indah menjadi fana. Hanya butuh beberapa jam saja untuk merusak semuanya, namun butuh waktu bertahun-tahun untuk kembali membangunnya. Bagaimana hancurnya aku tanpa dia? Bagaimana...