05. Dendam

1.7K 185 9
                                    

Saka dipindahkan ke kelas XI IPA 2. Tukeran kelas dengan Lira, cewek yang udah dekat dengan Danis dan masih digantungkan oleh Danis.

Lira senang, begitu juga Danis. Danis tidak habis pikir jika harus duduk dengan musuh bebuyutan sahabatnya. Ditambah lagi dengan kehadiran Lira di sampingnya, membuat mood Danis bertambah baik.

Tidak hanya Danis yang lega. Juna dan Panji juga. Mereka bertiga langsung mengelus dada ketika hari itu juga Saka tidak satu kelas dengannya.

Atlanna sekarang kebingungan. Tidak tau apa-apa. Sean tidak pernah cerita apapun kepadanya. Atlanna sedikit kecewa ketika dirinya udah terbuka dengan Sean, tetapi justru Sean yang belum menceritakan apa-apa.

Atlanna menatap Sean, sedikit takut juga karena Sean masih emosi. Danis, Juna, dan Panji juga diam aja, lebih baik Sean didiamkan dulu agar emosinya mereda.

Tubuh Atlanna mulai tidak nyaman, apalagi udah hampir tiga jam yang lalu bertemu Saka, namun Sean belum mengeluarkan sepatah kata untuknya. Ini bukan Sean yang biasanya.

Atlanna menepuk pelan dadanya sendiri dan menghela napas untuk memberanikan diri memulai percakapan dengan Sean. Jujur sangat aneh karena biasanya selalu Sean yang mengajaknya berbicara. "Sean masih marah?"

Seketika raut wajah Sean berubah, sedikit menampilkan senyumannya. Cowok itu menatap Atlanna lembut. "Gapapa, Na."

Danis tidak melihat karena sedang mengobrol dengan Lira, sedangkan Juna dan Panji dibuat takjub dengan keadaan Sean sekarang. Bagaimana bisa hanya ditanya dengan Atlanna cowok itu bisa langsung mereda amarahnya, sedangkan jika ketiga cowok itu mentok-mentok hanya diam sampai amarahnya benar-benar hilang.

Tiba-tiba Juna berpikir dan ingat bahwa Sean tidak pernah sekalipun marah dengan cewek yang dekat dengannya. Juna mendekat ke arah panji, lalu berbisik, "Atlanna ibarat Siena, mana bisa Sean marah."

Panji manggut-manggut setuju, lalu balik berbisik, "Gue kira Sean udah bisa ikhlasin Siena."

Atlanna bangkit dari duduknya, lalu berjalan ke luar kelas. Sean tidak bertanya, setelah Atlanna ke luar kelas emosinya kembali lagi.

"Lo belom cerita ke Atlanna ya?" tanya Juna.

Sean tidak mengeluarkan sepatah kata, hanya mengangguk sebagai jawaban.

Bangku samping Sean kosong karena Atlanna ke luar kelas, Juna duduk di situ sekarang. Juna orang yang kurang suka berbasa-basi, menatap Sean lekat-lekat. "Sampe kapan lo mau dendam sama Saka?"

Sean menatap Juna dengan tatapan mematikan. "Sampe Saka mati."

Juna menghela napas kasar, siap-siap mengeluarkan kata-kata pedas. "Semua orang pasti ngerasain yang namanya kehilangan. Ikhlasin Siena. Gue tau Saka salah, cuma ya percuma lo mau sedendam apapun ke dia gak bakal ngeubah semua. Siena tetep udah di sisi Tuhan. Terus kalo lo bunuh Saka, yang ada nambahin sengsara idup lo aja. Lo mau sisa umur lo di dalem penjara?"

"Gue udah ikhlasin Siena, Jun. Tapi setiap liat muka Saka rasanya masih gak rela Siena mati karna dia."

Juna menepuk pelan bahu Sean, upaya untuk sedikit menenangkan hati cowok itu. "Kematian udah ditentuin sama Tuhan. Siena kecelakaan sama Saka itu ibarat perantara. Kalo misalkan gue yang di posisi Saka, apa lo bakal dendam juga?"

***

Pulang sekolah Sean tidak langsung pulang ke rumah orang tuanya, melainkan ke rumah nenek dan kakeknya. Jaraknya tidak terlalu jauh dari sekolah.

Raut wajah Sean masih sedikit tidak mengenakan, perilakunya juga tidak seramah biasanya. Saat masuk ke dalam rumah tidak menyapa asisten rumah tangga, seperti bukan Sean.

Sebelum menaiki tangga, Sean berbalik, "Papap ada di ruang kerja, Bi?"

Neni tersenyum lalu mengangguk. Tanpa mengucapkan terima kasih seperti biasanya, Sean langsung berlari kecil menaiki tangga.

Tidak mengeluarkan sapaan ataupun salam, Sean seakan-akan langsung mengintrogasi Rudi, kakeknya, namun dari kecil Sean udah terbiasa memanggil kakeknya dengan sebutan 'papap'.

"Kenapa masukin Saka ke sekolah?"

Terlihat tidak sopan, bahkan songong. Namun, Rudi seberusaha mungkin mengerti. Rudi tidak langsung menjawab, melainkan menyuruh cucunya itu untuk duduk.

"Ini waktunya kamu buat damai sama Saka. Udah hampir tiga tahun kejadian Siena, masih belom maafin Saka?"

Rahang Sean mengeras. "Sampe mati gak bakal dimaafin."

Rudi cukup tercengang mendengar itu. Baru aja ingin menasehati lebih lanjut, Sean melanjutkan, "Apa gak ada sekolah lain buat tampung dia?"

Rudi bangkit dari kursi kerjanya, mendekat ke arah sofa yang diduduki Sean. Pria yang usianya udah menginjak kepala enam itu menepuk pelan paha cucunya. "Kalo di sekolah lain Saka harus ngulang dari awal, kamu gak kasian? Saka sempet berhenti sekolah karna kecelakaan itu."

Sean menepis pelan tangan kakeknya. "Buat apa kasian, dia udah ilangin nyawa Siena, Pap."

Sinta, neneknya datang sambil membawa minuman, tadinya ingin asisten rumah tangga yang memberikan, namun ketika tau ada Sean di ruang kerja suaminya, Sinta yang mengambil alih.

Setelah menaruh minuman di meja, Sinta duduk juga di sebelah cucunya. "Sean, kasian Siena kalo kamu belom bisa maaf-maafan sama Saka. Nenek yakin, gak cuma kamu doang yang kehilangan Siena. Nenek, Papap, Bunda, Ayah kamu juga. Jangan buat Saka ngerasa bersalah selamanya, Sean."

***

Baru masuk pulang ke rumah dan masuk ke kamarnya, Sean terkejut. Ada Danis dan Panji yang sedang bermain play station, ada Juna yang tengah membaca komik kartun kesukaannya, dan ada Atlanna yang duduk di karpet berbulu di samping Panji sambil memakan camilan dari brangkas kamar Sean yang isinya penuh dengan camilan.

Sean menjatuhkan badannya di kasur debgan posisi terlungkup. Atlanna berhenti menyemil dan duduk di samping Sean.

"Lo belom cerita apa-apa ke gue."

Sean mengangkat kepalanya. Walaupun kepalanya pening habis berdiskusi dengan papap dan neneknya, melihat wajah Atlanna, Sean seakan baik-baik aja.

"Kalo beban pikiran gue udah surut, nanti gue cerita ya."

Baru aja Sean ingin menundukkan kepalanya lagi, Atlanna menatap tajam dan langsung cerocos. "Gue pikir hidup lo baik-baik aja karna gak pernah cerita hal aneh ke gue. Gue agak nyesel udah terbuka sama lo, sedangkan lo juga nutupin masalah yang menurut gue berat."

Danis dan Panji seketika menyetop permainan di play station tersebut, begitu juga dengan Juna, cowok itu menutup pelan komik yang tadi dia baca dan menatap ke arah Atlanna.

Danis, Juna, dan Panji menatap Atlanna cengo. Akhirnya Atlanna mengeluarkan kalimat yang cukup panjang walaupun raut wajahnya jutek seperti biasa.

Sean tidak terlungkup lagi, dia duduk sila tepat di depan Atlanna. Tangannya dia pakai untuk mengelus pelan rambut Atlanna.

"Jangan nyesel karna udah cerita kisah hidup lo ke gue, Na. Gue ngerasa gagal jadi sahabat lo. Nanti gue cerita ya kalo emosi gue udah stabil. Atau kalo lo udah penasaran akut, minta ceritain sama mereka bertiga aja ya."

Begitu Sean, selalu lembut dengan Atlanna. Atlanna itu prioritasnya Sean.

***

Hola. Masih sepi hehe tapi aku enjoy ajaaaa.

Vomment ya makasih.

13 Maret 2020

SEANNATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang