🍒7

20K 2.1K 108
                                    

Lisa dan Jungkook berbaring diatas ranjang dalam posisi menatap lurus ke arah langit-langit kamar. Tubuh mereka masih telanjang bulat, hanya tertutup selimut tebal sampai sebatas dada. Iya, mereka memang baru saja selesai bercinta sekitar dua puluh menit yang lalu. Tapi entah mengapa, suasananya mendadak berubah menjadi canggung.

Keduanya hanya terdiam tanpa suara. Bahkan mereka bisa mendengar dengan jelas suara jarum jam dinding yang berdenting. Sebenarnya Lisa malu sekali. Tadi ia menyerang Jungkook lebih dulu dengan sebuah ciuman dibibir untuk memulai permainan mereka malam ini. Sungguh, Lisa sangat menyesalinya. Ia benar-benar merasa malu karena biasanya Jungkook yang melancarkan aksinya lebih dulu.

"Kenapa diam saja? Sepi sekali kalau tidak mendengar suara cerewetmu itu." Jungkook membuka pembicaraan. Suara Lisa memang tidak setiap detik merasuk ke dalam telinganya. Tapi, ia hanya merasa aneh saja ketika terjebak dalam situasi seperti ini. Rasanya sangat canggung, persis seperti kali pertama mereka bercinta enam bulan yang lalu.

Lisa mendengus pelan. Ia berbaring memiring--membelakangi Jungkook. Gadis itu juga tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi dalam dirinya. Mungkin malam ini ia harus tidur lebih cepat untuk menjernihkan pikirannya.

Namun belum sempat memejamkan mata dengan benar, tiba-tiba Lisa merasakan tangan kekar Jungkook memeluk tubuhnya dari belakang.

"Maaf kalau aku terlalu kasar. Pasti tubuhmu terasa nyeri." kata Jungkook, menebak-nebak. Ia mengira terdiamnya Lisa diakibatkan oleh permainannya yang terlampau kasar tanpa ia sadari. Pemuda itu lantas mengecup pundak Lisa, menghirup aroma keringat yang berpadu dengan relaksasi dari harumnya bunga mawar--berasal dari sabun mandi yang dipakai gadis tersebut.

Lisa hanya berdehem sebagai jawaban. Padahal nyatanya malam ini permainan Jungkook tidak terbilang kasar dan Lisa tetap menyukainya. Gadis itu hanya ingin segera terbebas dari obrolan itu dan pergi tidur. Isi kepalanya benar-benar berantakan sekarang.

Awalnya, Lisa kira Jungkook akan membiarkannya tertidur begitu saja. Tapi tepat lima belas menit setelahnya, pemuda itu kembali berucap, "Aku merasa kesepian. Bisakah kau temani aku?"

Jungkook tahu kalau Lisa belum tertidur dan masih dapat mendengar suaranya. Benar saja, selang beberapa detik setelah itu Lisa segera membalikkan tubuhnya untuk berhadapan dengan pemuda tersebut.

Meski sama-sama terlihat peduli, nyatanya Lisa dan Yoonhee tetaplah berbeda. Kalau berada dalam keadaan seperti ini, Yoonhee akan dengan sigap memeluk Jungkook dan memberinya usapan agar pemuda itu segera terlempar ke alam mimpi kendati rasanya begitu sulit. Tapi Lisa--gadis itu akan mendengarkan semua keluh kesahnya, kemudian memberikan kalimat penenang untuknya sampai ia bisa tertidur.

"Apa yang kau pikirkan, hm?" tanya Lisa dengan nada tenangnya. Sama sekali tidak terdengar kesal ataupun memaksa. Padahal Jungkook tahu kalau gadis itu sudah merasa lelah dan ingin beristirahat.

"Tiba-tiba aku terpikirkan tentang kedua kakakku. Mereka terlihat saling mencintai, tapi itu salah. Kami adalah saudara kandung, memiliki Ayah dan Ibu yang sama. Menurutmu, apa mereka akan menikah suatu hari nanti?"

Lisa tersenyum kecil. "Jangan terlalu memikirkan apa yang akan terjadi jauh dikemudian hari. Itu belum tentu akan menjadi seburuk yang kau pikirkan, ataupun sebaliknya. Aku yakin kedua kakakmu adalah orang-orang yang pintar dan tahu apa saja resiko yang harus mereka hadapi."

"Tapi bagaimana kalau mereka benar-benar akan menikah? Bukankah itu gila?

Lisa terkekeh pelan. Ia menatap lembut pada Jungkook, memegang rahangnya dan mengelus pipinya dengan ibu jari. "Selalu ada sebab dan akibat, Jung. Kau tidak boleh membenci mereka hanya karena kau melihatnya dari sudut pandangmu. Setidaknya, kau harus tahu bagaimana hubungan mereka bermula dan apa saja alasan mereka untuk mempertahankan hubungan itu sampai detik ini."

Jungkook tertegun. Selama bertahun-tahun ia tenggelam dalam rasa benci kepada keluarganya sendiri, ia baru sadar kalau tidak seharusnya ia melakukan hal itu. Lisa benar. Mungkin Jungkook harus berbicara menggunakan kepala dingin dengan kedua kakaknya, agar ia tahu fakta apa saja yang belum terungkap.

"Jung.. Biar bagaimana pun mereka adalah keluargamu. Kau menyayangi mereka. Aku yakin kau tidak pernah benar-benar membenci mereka. Kau hanya marah, dan kemarahan itu pasti bisa kau redam. Hanya kau yang tahu bagaimana caranya." lanjut Lisa.

Jungkook terdiam. Semua yang dikatakan Lisa memang benar adanya. Tentang bagaimana kebencian yang akan terkikis oleh kerinduan, atau tentang bagaimana ia yang masih begitu menyayangi keluarganya. Pemuda itu lantas menyandarkan kepalanya pada pundak Lisa seraya mengeratkan pelukannya, persis seperti seseorang yang sedang ingin dimanja oleh kekasihnya.

Lisa membiarkannya. Ia memberikan usapan lembut pada kepala Jungkook, menghantarkan kenyamanan dan ketenangan pada si pemuda. "Jangan terlalu larut pada kebencian maupun kesedihan. Hidupmu terlalu berharga. Kau masih bisa meraih lebih banyak kebahagiaan."








°°








Tepat pada pukul empat lebih lima menit sore hari, Jungkook memasuki sebuah kafe bernama Dreame yang terletak tak jauh dari kampusnya. Pemuda itu sudah membuat janji dengan kedua kakaknya, dan mereka bersedia untuk menemui Jungkook.

Melalui bola matanya, Jungkook dapat melihat bagaimana Seokjin dan Jisoo saling menautkan jemari dengan lembut, dipamerkan diatas meja sembari menunggu kehadirannya. Si bungsu lantas menarik napas dalam dan mulai mendekat ke arah mereka. Ia harus menekan emosi maupun amarahnya meski perutnya tetap bergolak mual kala disajikan pemandangan menjijikan semacam itu.

Yah, setidaknya memang bagi Jungkook itu menjijikan sekali, karena dua orang tersebut merupakan kakak kandungnya. Namun bagi orang-orang asing yang tak tahu akan hal itu, mungkin mereka semua akan memberikan respon santai dan menganggap bahwa itu sudah biasa terjadi diantara sepasang kekasih normal pada umumnya.

"Hai, Jung.." Jisoo menyambut kedatangan si bungsu dengan senyuman yang begitu manis. Ia bangkit, melepas tautan tangannya dengan Seokjin dan melebarkan tangan untuk memeluk sang adik.

Jungkook menerimanya--membiarkan Jisoo mendekapnya penuh kerinduan, sebab entah kapan terakhir kali ia mengizinkan kakaknya tersebut untuk menyentuhnya lebih dekat seperti ini.

Ah, sungguh. Bahkan rasanya Jisoo ingin menangis saja. Selama bertahun-tahun ia benar-benar merasa telah kehilangan sosok adik bungsunya--adik kecil yang paling ia sayangi.

"Kenapa tiba-tiba sekali, hm?" tanya Jisoo setelah melepas pelukannya. Matanya terlihat berkaca-kaca kendati ia berusaha mempertahankan senyuman dibibirnya.

Setelah sama-sama mendudukkan diri, Jungkook lantas memandang kedua kakaknya secara bergantian. Ia menarik napas pelan dan menatap dengan tenang sebelum berujar, "Aku tak ingin banyak bicara. Tapi... sebenarnya apa yang membuat kalian sampai melewati batas seperti ini?"

 sebenarnya apa yang membuat kalian sampai melewati batas seperti ini?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
living together | lizkook✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang