BAB 1

897 14 0
                                    

        Ini masih pukul enam sore. Kuperhatikan seluruh baju yang sudah masuk kedalam dua buah koper besar dan siap dimasukkan kedalam bagasi mobilku. Kebanyakkan adalah kaus oblong dan t-shirt, celana jeans pendek dan juga beberapa bikini dan baju renang. Jaket denim atau juga ada cardigan, yang terpenting seluruh pakaian dalam telah masuk, seluruh peralatan mandi juga sudah masuk. Passport dan tiket pesawat sudah ada dalam tas ranselku.

        Aku tidak tahu apa aku siap atau tidak.

        Kupastikan seluruhnya sudah masuk dan kupanggil Robert--sopir pribadiku--untuk mengambil koperku. Kumasukkan iPhone, headphone, headset dan semua omong kosong kedalam tasku. Perihnya goresan dilengan, paha dan pergelangan tanganku ini, fuck I need a painkiller.

 Ibuku sudah menunggu didepan rumah bersama Peter--pacarnya. Aku merapikan kamarku terakhir kalinya dan melihat apakah ada yang lupa. Maklum, aku tipikal orang pelupa. Lalu, aku menghirup nafas dalam-dalam, aku akan merindukan aroma kamarku selama tiga bulan ini. Kututup pintu kamar dengan mantap dan turun menemui ibuku dan calon ayah baruku. Menjijikkan.       

        "Baiklah sayang, jangan nakal disana dan pastikan kau bertingkah baik" kata Ibu. "Bu, kalian berpisah hanya dua tahun yang lalu, aku masih sama seperti dulu dan kau tahu bahwa aku selalu bertingkah baik pada Ayah, jadi tenang saja" kataku sinis. Jujur, aku tetap belum bisa menerima kehadiran Peter walaupun ia sudah tinggal dirumah ibuku selama 11 bulan terakhir, dan aku masih marah pada ibuku kenapa ia menemukan pria seperti Peter. Apalagi aku masih menyayangi kedua orang tuaku dulu.

        "An, kau tidak boleh-" "diamlah, kumohon" kupotong ucapan pria itu. Peter merangkul ibuku dan cuih aku tidak sudi!

“Ana, apa ini?” Ibuku mengenggam tanganku dengan erat dan aku merintih kesakitan. Sial! Ia mencengkram pergelangan tanganku! “Luka gores? Ana, apa yang kau lakukan terhadapmu?!” teriak ibuku. Aku menahan sakit ini dan melihat wajah ibuku panik dan pucat. “Ini hanya luka gores!” “tapi dengan sengaja!” tambah Peter yang ikut memerhatikan lenganku. “Bu, aku Baik.Baik.Saja!” kutarik lenganku dari tangan ibuku. Bibirku gemetaran serta tubuhku sedikit menggigil.

 “Dimana lainnya?” Tanya Peter menyelidik. “It’s not your freaking business, Peter! I’m really really hella fine!” 

        Dibandara, aku sudah memegang erat tiketku, passportku dan sweater panjang untuk menutupi lukaku. Aku menunggu sambil mengecek ponselku dan koperku sudah disamping Robert. Robert menemaniku hingga jam keberangkatanku . Dia sudah menjadi kawanku dari aku kelas enam SD.

"Rob, aku ingin bertanya padamu" kataku membuka obrolan. "Silahkan, nona" "Bagaimana menurutmu tentang Peter?" tanyaku. Robert menatapku bingung, 3 detik akhirnya ia membuka mulut "Dia baik sepertinya. Setiap baju yang ia pakai selalu beraroma parfum menyengat–namun saranku, jika ia memakai parfumnya sedikit mungkin enak karena kau tidak tahu betapa pusingnya aku semobil denganya, ditambah dengan obrolan tentang pekerjaanya yang ia banggakan"

 Inilah tipikal orang yang aku suka. Terbuka dan frontal. Memang kupaksa Robert terbuka padaku walaupun aku anak majikanya, dan by the way, kita sudah memegang sumpah tidak akan memberitahu siapapun tentang obrolan kita karena kebanyakkan kita membicarakan tentang orang lain atau… whatever. 

We’re like a bestie.

        Ketika sudah waktunya keberangkatanku, aku memeluk Robert terakhir kalinya dan ia berjanji jika ia akan menjadi orang pertama menjemputku dengan tepat waktu ketika aku pulang.

Aku memasang sabuk pengaman dan melihat kearah jendela. Jantungku berdegup kencang dan ini sungguh aneh berpergian sendirian kesebuah negara tetangga mengunjungi orang yang tak pernah kulihat selama dua tahun terakhir ini. "Apa sabuk pengaman sudah anda pasangkan, sayang?" tanya pramugari yang mengalihkan perhatianku. Aku menoleh kearahnya dan mengangguk tersenyum. Dia cantik sekali. "Baiklah, kita akan take off sebentar lagi" katanya.

Disebrang kursiku terdapat pasangan mesra sekali. Kudengar mereka adalah pengantin muda yang akan menghabiskan bulan madunya di London. Mereka kelihatan bahagia sekali, terutama si wanita. Raut wajah pengantin wanita itu membuatku berpikir. Apakah, wajah ibuku akan seperti itu ketika ia menikahi Peter nanti? Jangan sampai.

 Ini masih menjelang malam namun entah kenapa suasananya sangat sepi. Seorang pramugari membagikan selimut, akhirnya aku dapat dan lembut sekali. "Bolehkah aku meminta cokelat hangat?" kataku. "Baiklah sayang" jawabnya ramah. Aku tersenyum sebagai jawaban ‘terimakasih’. Kurasa sudah jadi kebiasaanku untuk minum segelas susu sebelum tidur jadi walaupun atau kemanapun aku pergi keluar kota mengendarai apapun, aku selalu mengantongi 2 kotak susu atau lebih. Tapi tidak untuk sekarang.

Kurang dari 10 menit susu cokelatku datang. Aku menikmatinya dengan mendengarkan lagu dari iPodku. Lagu dari David Bowie yaitu Moonage Daydream selalu menjadi kesukaanku.

Apa karena efek cokelat ini membuatku mengantuk sekali, atau lampu dalam pesawat perlahan-lahan banyak yang mati, atau karena efek lagu ini atau… Oh, sial.

Anabella? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang