BAB 4

135 3 0
                                    

Kurasa pipiku bersemu merah sekarang mendengar perkataanya. Belum ada yang memuji namaku seperti itu—mungkin ayahku atau ibuku saja.

 Aku barusan saja berumur 17 tahun, bulan lalu tepatnya aku merayakannya. Aku tidak mengadakan namanya “Sweet Seventeen”, karena pasti tidak ada yang akan datang… dari pihak teman sekolahku maupun teman rumahku.

Walaupun begitu, kehidupanku di SMA bukanlah hal yang menyenangkan. Aku murid korban bully-an, lol.

Sebutkan saja! Sepatu yang digantung diatas pohon? Pernah. Didesak oleh pertanyaan menyebalkan? Pernah. Diolok-olok? Sering sekali. Gadis-gadis populer yang mengerjaimu habis-habisan dengan menceburkan wajahmu dalam WC? Yap. Hampir dibunuh oleh teman sekelas? Hell ya. Aku tidak tahu kenapa mereka melakukanku seperti itu.

Esoknya, Stefanie mengajakku untuk jogging.

Jogging?” ulangku. Aku menaruh gelas berisi susu putih diatas meja dan berpikir sejenak. Ayolah itu bukan suatu yang ku senangi dipagi hari. Aku meliriknya sebentar dan ia sedang menunggu dengan mengangkat alisnya. “Apa ayahku juga ikut?” tanyaku. “Oh, ayahmu barusan saja pergi, ada urusan pekerjaan. Sojogging?” tanyanya sekali lagi. “um… oh-kay

Aku tidak percaya jika ayahku memiliki kesibukkan dimusim panas tahun ini. Dan harusnya ia meninggalkan saja tugasnya dan bermain bersama, berlibur bersama. Ternyata Stefanie mengajakku lari di taman dan ia juga memberitahuku jika ia akan mengajakku ke pasar membeli sayuran untuk salad dan makan malam nanti. Aku hampir lupa apa yang kumakan sarapan tadi, apa karena kemarin malam aku menahan lapar?

Kami beristirahat dibangku taman, dan aku lelah sekali jogging dengan wanita ini. Larinya sangat cepat bagi wanita yang berumur 35-an. Aku ngos-ngosan, dan terbukti bahwa aku memang tidak pernah jogging kecuali disekolah. Kalaupun dia ibuku, aku bisa saja memberinya 1001 jurus alasanku. “Kecapekkan, An?” tanyanya. Aku mengangguk. “Oke, aku belum capek dan kurasa kita bisa berlari lagi. Kau mau?” tawarnya. Gila wanita ini, batinku. “Tidak terimakasih, kau saja. Aku akan beristirahat, Stef” Akhirnya, dia pun pergi tanpa babibu.

Aku meluruskan kakiku dan tiba-tiba kudengar suara yang familiar sekali… Tukang Es Cream.

Aku berlari kearah tukang Es Cream itu dan menjadi pembeli pertama sebelum pada akhirnya ada seorang pria dibelakangku. Tapi aku benar-benar tak peduli. Dalam 15 detik sudah banyak anak kecil yang mengantre. “Mint, ada?” tanyaku. Ia mengangguk dan memberiku se-scoop Ice cream. Aku membayarnya dan ketika hendak berbalik aku tertabrak seseorang.

 “Maafkan aku nona!” kata seorang cowok yang tingginya hanya lebih 10 cm dariku. Aku terdiam. “Apa kau baik-baik saja?” tanya nya, “kau menjatuhkan es creamku” “a… kau bisa membelinya lagikan?” tanyanya. “How dare you?! Segampang itukah kau menyuruhku membeli lagi? Sobat, yang benar saja!” bentakku. Memang ada beberapa orang yang melihatku, tapi kekesalanku tidak bisa kubendung lagi.

Walaupun juga itu bukanlah suatu kesengajaan tapi tetap saja membuatku kesal, apalagi aku hanya membawa uang sedikit. Pria ini berambut blonde, mata biru dan kelihatanya ia habis berolahraga berat karena keringat bercucuran dipelipisnya.

“ugh, ayolah kau bisa membelinya lagikan?” tanyanya. “Tidak!” bentakku dan melipat tanganku didepan dadaku. Aku membuang muka dari wajahnya dan melirik ice cream yang jatuh didekat sepatuku. Oh kasihan sekali…

“Sialan” gumamnya. “jadi, kau mau apa? Maksudku kau mau aku harus apa?” “seperti bias any, Pak. Jika kau melakukan kesalahan, maka kau harus bertanggung jawab” “Pak?” ulangnya tak percaya. Aku menatapnya dengan satu alis terangkat, Ia menggeram pelan, “whatever, I’ll buy you ice cream, filthy...” “Apa?” “Tidak apa-apa”.  

Aku tidak percaya jika ia juga akan mau menemaniku makan ice cream. Dia mengajakku untuk duduk dibawah pohon besar ditengah taman dan sejuk sekali walau dengan teriknya matahari. Kami duduk agak sedikit berjauhan. Kuperhatikan kembali dia, ia memiliki wajah seperti anak kecil dan menggemaskan sekali, pipinya merona merah dan rambut blondenya yang tercampur dengan sedikit warna cokelat. Entahlah bagaimana ia memiliki rambut seperti itu tapi cocok sekali dengannya.

“Apa yang kau lihat?” tanyanya sinis. “Tak ada” jawabku cepat dan memakan sesendok es cream. “Kenapa kau mengenakan kaus panjang?” “apa itu menganggumu?” “tidak” “then, shut up.

 Selama beberapa menit kita hanya saling lirik—itu membuatku agak jengkel dan tak nyaman—aku menaruh ice creamku didepanku. Walaupun moodku masih belum senormal biasanya, itu akan sangat jahat sekali jika aku mendiamkannya seperti ini dengan wajahnya yang kusam.

“Sebelumnya terimakasih sudah mau bertanggung jawab membelikanku ice cream, lalu…” “tak apa,” potongnya. Aku tersenyum singkat dan melanjutkan omonganku. “Lalu aku meminta maaf bersikap kekanak-kanakkan waktu kau tidak sengaja menjatuhkan ice creamku. Karena… aku tidak membawa banyak uang dan… mint favorit ice creamku jadi aku kesal sekali kau menjatuhkanya dan aku meminta maaf karena membentakmu. I’m sorry” “Aku juga meminta maaf karena tidak sengaja menabrakmu dan membalasmu membentak. Itu tidak pria sama sekali” “tapi kau bertanggung jawab, jadi kau memang lah pria”.

Dia tertawa pelan. Apa itu lucu?

Akhirnya kami berbincang-bincang sebentar, lalu yang kuketahui adalah ia bernama Niall Horan. Dia tinggal di London baru 2 tahun dan pindahan dari Irlandia. Pantas saja logat britishnya tidak terlalu menonjol padanya. Dia memiliki humor yang tinggi, tawa yang unik, dan kurasa ia memiliki kepribadian yang apik mungkin. “Aku mempunyai bibi disini” katanya membuka topik lain. “Benarkah?” tanyaku. “Yeah, dia dari pihak ibuku. Lalu… aku lupa dimana ia tinggal karena ia barusan saja pindah bersama tunanganya disini sekitar…” “Ana!”

NB; 

hai-hai! =D 

info aja sih, cerita ini bakalan nemuin banyak--yeah mungkin beberapa--orang-orang. Bakalan ada Justin Bieber, 5sos, pastinya disini bakalan ada 1D dan lain-lainnya. Pokoknya, baca terus dan terimakasih! :))))))) -nm

Anabella? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang