“Tak disangka kau sudah memiliki pacar” kata Niall yang menemaniku membersihkan dapur. Aku tersenyum singkat, pacar? Memangnya Harry ingin menjadikanku sebagai pacarnya? Tapi dengan tingkahnya tadi pagi, membuatku memiliki harapan jika aku bisa menjadi pacarnya. Huh, dia menciumku! Dipipiku. Tapi aku ragu, orang setampan Harry tidak memiliki pacar? Pasti dia punya hanya saja ia menutupinya. Wajahnya juga seperti seorang playboy professional. Tapi, bagaimana jika ia hanya menjadikanku pelampiasan? Atau sebagai korban dari harapannya? Well, itu menyebalkan.
“Annie?” aku menoleh kearah Niall. “Annie?” ulangku. Niall mengangguk, “kau suka?” “Uh…” “bagaimana dengan Bella? Bells?” tanya Niall. Aku terkekeh pelan, “ada apa dengan Anabella?” tanyaku. “Anabella sangat panjang untuk sebuah nama panggilan” jawab Niall. “Really?”. Niall mengangguk, “kau butuh nama panggilan yang keren, Anabella” ucap Niall yang menekan kata terakhir pada perkataannya.
Aku menaruh piring terakhir dilemari atasku. Lalu berbalik ke arahnya yang duduk dimeja makan; tersenyum jahil dengan mengangkat alisnya. “Annie? Niall, Anabella hanya menggunakan satu ‘N’ bukan double ‘N’.”
“Kalau begitu Bella? Anabella menggunakan double ‘L’, bukan satu ‘L’”. Aku menarik kursi yang berhadapan dengan Niall. Ia masih mengangkat satu alisnya. “Aku tidak yakin ayahku menyukai Annie. Tapi dia sering memanggilku Bella atau Bells” “Nah, aku juga sering mendengar kau dipanggil ‘Bells’ olehnya”.
“Aku suka ‘Anabella’. Tapi yeah, memang benar kepanjangan. Mungkin… Bella? Bagaimana menurutmu?” tanyaku. Mata Niall berbinar dan senyumya lebih lebar, “Aku berpikiran hal yang sama denganmu, Nak. Bella nama yang manis. Sepertimu.” Goda Niall. Aku memutar kedua mataku dan Niall tertawa lepas melihat responku ternyata. “Dasar..” gerutuku, kulempar dia dengan kain lap yang ada disampingku.
Pukul sembilan malam, Niall berpamitan pulang. Aku mengantarnya hingga pagar rumah dan ia memberikan kedipan mata sebelum masuk kedalam mobilnya. Dasar penggoda. Aku agak sedih jika Niall pergi karena suasana rumah akan begitu sepi. Kabar baik dari hari kemarin adalah; ayahku dan Niall mulai akrab, mereka sering bermain ping-pong dihalaman belakang. Tertawa bersama dan saling melucu. Stephanie dan akupun juga lebih dekat sekarang. Aku jarang menghubungi ibuku, aku hanya takut jika ia kembali mengungkit masalah sebelum aku pergi ke London.
“Anabella?” panggil ayah. Aku menoleh kearahnya, “segera masuk.” Sesuai dengan perintahnya aku berlari kecil masuk rumah dan disambut rangkulan oleh ayahku. “Stephanie sudah tidur?” tanyaku. “Yep. Kenapa?” tanya ayahku balik, “nothing.”
“Apa kau masih ingat waktu kecil aku sering mengajakmu keatap?” “Ya, kenapa?.” Atap. Aku selalu senang jika dia mengajakku ke atap rumahku yang dulu di California. Walaupun malam, suasana begitu hangat dan kami berbaring disana menatap ribuan bintang. Kadang, ayahku menunjukkan beberapa bintang yang ia tahu dan rasi-rasi bintang. Tidak hanya di California saja, saat ayahku berkunjung di Los Angeles, dia sering mengajakku keatap rumahnya. “well, mungkin ini waktu yang tepat.”
Dia menuntunku saat kami berusaha menunju atap paling atas. “Hati-hati,” katanya. Aku memerhatikan setiap langkah diatap rumah ini. Walaupun atap ini tergolong masih baru, tapi tetap saja aku takut jika tiba-tiba aku tergelincir.
Kami duduk sembari menatapi langit. Debur ombak benar-benar bisa kudengar dengan jelas, apalagi aroma laut yang menusuk indra penciumanku. “Cukup banyak bintang disini,” aku tersenyum lemah. “tetap saja masih indah”.
Lama sekali kami terendam dalam keheningan. Ayahku lebih menghabiskan waktu untuk menunduk dan aku memandang langit mencari bintang yang kuingat. Jujur saja, menghabiskan waktu bersama ayahku lebih menyenangkan daripada bersama Peter. Ugh, manusia itu. Kenapa aku harus menyebutnya. Berkali-kali kulirik ayahku yang melamun. Entah dia sedang memikirkan apa. Mungkin ia merangkai kata untuk memulai obrolan. Dan itupun sedang kulakukan. Aku bingung untuk memulainya, kita sudah jarang ngobrol.
KAMU SEDANG MEMBACA
Anabella?
Diversos"orang yang meninggal akibat depresi, bukanlah orang yang ingin mengakhiri hidupnya..." "Ana, jangan lakukan!" "mereka ingin mengakhiri lukanya." Semua orang punya pilihan. Tapi aku memilih pilihan paling buruk. NB; Hai!