BAB 3

189 6 0
                                    

Usai makan aku langsung mandi lalu mengenakan kaus panjang dan celana tiga perempat dan mengenakan sandal. Aku mencoba bergabung dengan ayahku dan Stefanie diruang tengah. Mereka sedang menonton TV sambil berpegangan tangan. Aku ingat jika ayahku sering mengenggam tangan ibuku kemanapun mereka pergi (dulu). Hatiku miris sekali. Aku memutuskan untuk duduk dikaki ayahku.

“Hai, An, kau harum sekali” puji Stefanie. “Trims, Stef. Kau juga”. “An selalu menjadi mandi terlama dulu, dan kuhitung kau mandi selama 30 menit tadi. Apa yang merasukimu nak?” ejek ayahku. “Ssshh, ayah!” bentakku. Stefanie tertawa.

Kami berbincang-bincang hingga lupa apa yang kami tonton. Stefanie orang yang menyenangkan, dan humoris. Aku tertawa terpingkal-pingkal mendengarkan cerita masa remaja dan sahabatnya di SMA. Antara menggemaskan dan menjengkelkan. Mungkin, inilah istri yang diinginkan ayahku. Lain dari ibuku, seorang wanita yang sifatnya sedikit keras dan tegas, memiliki humor rendah dan selalu menganggap hal yang lucu dengan serius.

            Sore harinya, Stefanie mengajakku kepantai bersama ayahku menikmati sunset.Jarang sekali aku melihat sunset dipantai. Stefanie mengenakan kemeja panjang dan skinny jeans serta sepatu flipflop. Ayahku—seperti biasa—mengenakan pakaian kasual, dan aku mengenakan sweater dan celana jeans serta sandal. Kami menuju kesana dengan berjalan kaki. Stefanie merangkulku dan aku merasakan sensasi antara nyaman dan canggung, tapi aku harus nyaman denganya karena ia akan menjadi ibuku untuk 3 bulan kedepan. Aku menyandarkan kepalaku dipundaknya walaupun ia agak pendek dariku.

            Kami memilih view yang tepat dan kami tinggal menunggu. Kukeluarkan ponselku dan menulis pesan keibuku. “Bagaimana kabar ibumu?” Tanya ayahku berbisik. “Baik, sejujurnya… aku lebih senang melihat ibu bersamamu. Aku cukup tidak suka Peter” jawabku. “Dia segera menjadi ayahmu, terima sajalah. Semua orang memiliki kekuranganya” kata ayah. Aku tersenyum singkat dan mengangguk. Kecuali kau, yah, batinku.

Kuminum ice tea yang kupesan di cafe kecil yang cukup ramai disekitar pantai ini. Ponselku kembali berdering, ibuku membalas dengan mempertanyakan hal kemarin sebelum aku pergi ke bandara. Tapi tak lama ia menelfonku, “Jelaskan, Ana” kata ibuku. Aku terdiam, tidak mungkin aku membicarakan hal ini didepan ayahku dan Stefanie! Ia akan menganggapku orang aneh! “Ana, jawab!” kata ibuku lagi mendesak. “See ya, mom”. Aku menyesal telah menghubunginya.

            Aku izin ketoilet untuk kencing dan aku segera berlari karena ini sudah berada diujung, dan aku tahu itu memalukan untuk kukatakan sebagai wanita. Cukup jauh dan berliku-liku karena banyak orang yang lewat. Karena terlalu cepat akhirnya aku terpleset namun akhirnya beruntung ada yang memegangi lenganku. Shit, it’s really hurt!

Aku mengerang kesakitan, “Maaf, nona! Apa itu sakit?” tanyanya khawatir. Suaranya sungguh membuatku terpaku dan kurasa pipiku memanas akibat betapa tampannya pria ini! Aku jarang menyukai orang disekitarku, sungguh, bukannya aku seorang psycho atau apa, tapi aku sungguh membenci banyak orang. “E… terimakasih” jawabku. Aku berusaha berdiri dan segera meninggalkannya.

            “An, duduklah, kau lama sekali! Sebentar lagi kita kebibir pantai!” kata ayahku. Aku mengangguk dan duduk disamping ayahku. Kucari pria tadi yang ternyata cukup jauh dariku. Tapi aku masih bisa melihatnya tertawa bersama empat kawan lelakinya. Aku tersenyum sendiri saat melihatnya.

            Kami bertiga sudah berdiri dekat bibir pantai dan menyaksikan sunset yang indah ini. Aku sungguh menyukai momen ini. Bisa kutebak bahwa disebelahku,ayah mencium Stefanie dan aku cukup risih mendengar kecupanya dibibir Stefanie. Bukan karena aku benci pada Stefanie, tapi rasanya tidak adil sekali! Dadaku sesak, luka ini sungguh menyiksaku dan aku sungguh sedikit menyesal melukai diriku sendiri. Kuraba lengan dan pergelengan tanganku, jujur aku tidak berani melihat lukaku sendiri dimomen ini. Dan ya Tuhan, jins ini sedikit ketat sehingga luka dipahaku juga ikut sakit! Sialan.

“Ini momen indah, matahari berwarna orange yang menjadi warna kesukaanku, bukan favorit” kata orang disebelahku. Aku menoleh kearahnya dan pria itu lagi! Aku buru-buru bersikap normal seperti biasanya dan bertahan agar tingkah anehku tidak membuatnya risih terhadapku. “Aku bosan melihat pemandangan seperti ini” katanya sekali lagi. Aku tidak tau kemana arah pembicaraan ini, sumpah. Dan apa maksudnya? Setelah ia mengatakan jika momen ini indah kemudian ia mengatakan jika ia bosan dengan pemandangan ini? “Jadi kau sudah sering melihat pemandangan ini?” tanyaku. Ia mengangguk mantap.

Matanya terpantul cahaya dari matahari membuat warna matanya hijau bercahaya. Oh, Tuhan memang adil dan baik sekali mempertemukan aku dengan lelaki ini. “Jadi, kenapa kau masih datang kesini?” tanyaku lagi “Kau tipikal orang banyak tanya, eh?”

Aku mengangkat alisku dan akan mengatakan sesuatu untuk membela diriku tapi ia malah terkekeh. Aku cukup bingung dengan orang ini. “Santai saja, kau terlihat aneh tadi . Oke, aku suka datang kesini dan temanku juga barusan saja datang dari Pakistan menemui keluarga ayahnya disana” jawabnya. Aku mendengus pelan dan bergumam ‘Oh’. “Jangan dimasukkan kehati, aku hanya menggodamu saja tadi” “Menggoda?” ulangku. Ia mengangguk, “Dan wajahmu lucu sekali” entah kalimat itu adalah pujian atau mengejekku, atau ia sengaja membuatku malu atau juga salah satu gombalan dari jurus 1001 gombalan lainnya.

“Jadi, maafkan aku tadi sedikit membuat lenganmu sakit” katanya. Aku mengangguk dan tersenyum. “Aku juga berterimakasih, uh…” “Harry, Styles. Harry Styles” tambahnya cepat-cepat. “Okay, terimakasih, Harry Styles”. “Sama-sama, uh…” “Anabella, An, Ana, terserah kau". Ia tersenyum lebar, “siapa nama lengkapmu?” Tanya Harry. “Anabella Darren Jane-Prinston” “I love that name”.

NB; 

ini sedikit lebih anehkan? :|

Anabella? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang