Present 5

16 1 0
                                    



Heo Juyeon.

Nama yang sungguh Woojin benci mulai hari itu. Bukan lagi tidak suka karena lelah mendengar cerita Sohye memuja-muja seniornya itu. Tapi sungguh-sungguh benci.

Belum hilang dari ingatan Woojin, wajah Sohye yang cerah bercerita bahwa baru saja monyet itu menyatakan perasaan padanya, yang tentu saja langsung diterima oleh Sohye. Itu cerita 2 bulan yang lalu.

Tangan Woojin sudah terkepal. Bahkan dia sudah melangkah dengan langkah besar-besar menghampiri Juyeon yang sedang berinteraksi mesra dengan perempuan yang bukan Sohye.

Belum sampai Woojin mendekat, ujung jaketnya sudah ditarik oleh orang lain. Woojin meronta, sampai tangan lain ikut menyeret Woojin keluar dari kantin universitas.

"JIN! Sadar, woy!"

"JIN, jangan gegabah!"

Lucas dan Jihoon habis-habisan memarahi Woojin. Sementara Mark hanya menghela napas, di belakang 2 orang itu. Merekalah yang menyeret Woojin dari kantin sebelum laki-laki itu sempat mendaratkan tinjunya pada orang lain.

"Woojin, minum. Tenanglah, bukan seperti ini caranya. Pikirkan Sohye." Mark akhirnya buka suara setelah Lucas dan Jihoon behenti mengomel dan ikut duduk.

"Pikirkan sohye?! justru karena aku memikirkan Sohye, maka harus kuhajar monyet itu, Mark!" Woojin masih emosi, tangannya bahkan masih mengepal, menampakkan otot-oto mengerikan.

"Memang kalau kamu menghajar Kak Juyeon, siapa yang kena imbasnya, Jin? Kim Sohye, bukan Park Woojin." Mark masih mencoba berasionalisasi dengan Woojin.

"Biarkan, Mark, biark perempuan-perempuan itu yang menceramahinya." Jihoon mengendikan kepala ke arah datangnya Doyeon, Yoojung dan Mina.

"HONEY!" Suara lucas menggelegar. Senyumnya cerah, berbanding terbalik dengan Doyeon yang terlihat sudah siap menerkam seseorang. Seseorang yang hampir membuat keributan di kantin.

"PARK WOOJIN KAU GILA?!?!" bukan Doyeon, tapi Yoojung yang mengumpat duluan.

"Mana Sohye?" Woojin tidak menanggapi amukan Yoojung. Membuat gadis kecil itu makin mengomel panjang lebar, yang tentu saja hanya lewat di telinga Woojin.

"Belum mau ke kampus, di sembunyi di apartemen ku." Doyeon menjawab sambil ikut duduk di samping Lucas.

Jawaban Doyeon membuat Woojin mengusap wajahnya frustasi. Ah, Kim Sohye. Bagaimana Woojin tidak terus-terusan khawatir padanya?

Terburu-buru, Woojin langsung berdiri dari duduknya dan berjalan menjauh.

"Jin! Kemana?!"

"Ke apartemen Doyeon!"

"Hye, makan nih. Keluar kamar, dong." Woojin mengetuk pelan pintu kamar Doyeon sambil menenteng bungkusan makanan. Kesukaan Sohye.

"Aku tidak lapar. Makan saja sendiri." Sohye menjawab dari balik pintu. Dari suaranya, Woojin tahu Sohye baik-baik saja. Lalu kenapa tidak mau keluar?

"Hye, kalau tidak mau keluar, jangan kaget kalau besok wajah monyet itu babak belur ya." Sohye, anggota UKM Medis, tidak suka kekerasan.

"Jiinnnn, aku belum mau keluar." Sohye mulai merengek di dalam kamar.

"Ya jelasin dong, kenapa? Karena si monyet itu? Kamu masih menangisi dia?"

Kemarin sore Sohye menelpon Woojin. Sesenggukan berlinang air mata minta diantar ke apartemen Doyeon. Tanpa pikir panjang Woojin langsung tancap gas menjemput Sohye.

Ternyata, tanpa sepengetahuan Woojin, Sohye pergi memata-matai pacarnya. Sohye bukannya tuli dengan rumor-rumor yang beredar tentang pacarnya yang tukang selingkuh. Tapi dengan perlakuan Juyeon selama ini, jelas Sohye ragu. Pacarnya selalu mengabari Sohye tanpa diminta, memberi perhatian-perhatian kecil yang sangat Sohye suka.

Tapi Sohye dihadapkan dengan kenyataan. Jelas Sohye melihat Juyeon mencium pipi seorang gadis lain di bioskop. Membuat Sohye langsung mundur teratur dan menelepon Woojin.

"Jin, mataku bengkak, mukaku jelek." Sahutan Sohye lantas membuat Woojin mendengus geli.

"Alah, jujur saja. Kamu mau aku bilang 'kamu tetap cantik kok Hye'. Iya kan?"

"Park Woojin jelek!" Pintu terbuka kasar. Menampakkan Sohye dengan penampilan berantakan. Jangan tanyakan berapa lama Sohye menangis kemarin.

"Jadi gimana? Udah putus belum, dari si monyet?" Woojin mendorong Sohye agar berjalan ke meja makan.

"Belum" Cicit Sohye pelan. Sohye tahu reaksi Woojin akan seperti apa.

Woojin langsung berhenti dari kegiatan dorong-mendorongnya. Membalik badan Sohye dan menatapnya serius.

Sohye takut. Sedikit.

"Kenapa" Suara Woojin datar. Matanya tidak lepas menatap Sohye yang sudah kelimpungan mencari objek lain untuk dilihat selain mata Woojin.

"Uhh, itu..."

"Kenapa, Sohye? Jawab atau aku ke kampus sekarang menghajar Juyeon?" Kalimat Woojin sontak membuat Sohye panik.

"Aku tidak tahu harus bicara apa, Jin. Mulai semalam aku sudah mengabaikan semua pesan dan telepon Kak Juyeon. Tidak tau, voicemail nya terdengar khawatir?" Suara Sohye semakin tidak terdengar di kalimat terakhir. Membuat Woojin mengerang frustasi dan mengacak rambutnya.

"Khawatir dari Hongkong, hah! Kau tahu, siang ini Juyeon mu itu sudah bermesraan dengan gadis lain di kampus!"

Sohye terkejut. Woojin bisa tahu dari pupil matanya yang melebar. Air mata kembali menggenang di pelupuk mata Sohye. Kali ini bukan menangisi hubungannya. Tapi menangisi kebodohannya. Sohye merasakan rengkuhan Woojin. Tangisannya semakin keras, Sohye tergugu dalam dekapan hangat Woojin.

"I'm here, Hye. I'm here." Woojin mengelus surai hitam Sohye.

Woojin dan Sohye pernah berjanji untuk terus ada bagi satu sama lain. Janji yang terus dipegang oleh keduanya, hingga kini, bahkan entah sampai kapan nanti. 

Rana RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang