Kapitel 1.2

19.5K 997 15
                                    

"Dokter Hanna!" panggil seorang perawat dari ujung lorong.

"Ada apa?" 

"Ada pasien.... luka bakar di..UGD" ucapnya sambil berusaha untuk mengatur nafasnya yang berantakan.

"Baik"

Dengan cepat aku berlari menuju UGD. Jam menunjukkan pukul 10.50, sebentar lagi seminar akan di mulai dan aku tidak tau apakah aku dapat menepati janjiku untuk menemani Liora mengikuti seminar tersebut.

Seorang pria terbaring dengan lemas di hadapanku, beberapa bagian tubuhnya sudah berwarna gelap akibat terbakar.

"Pasien berusia 35 tahun, terbakar akibat ledakan yang terjadi pada tempat kerjanya, luka bakar diperkirakan sudah berada pada awal tahap ketiga"

"Berapa TTV¹ nya?"

"²BP 110/70, HR 115, cukup stabil"

"Panggil Dokter Dion dan pindahkan pasien ke ruang operasi, kita akan langsung melakukan escharotomy³"


Sedangkan di sisi lain, Liora terus-terusan menatap jam tangannya sambil menunggu kehadiran Hanna yang tak kunjung datang.

"Mari kita sambut, Dokter Alvaro Keano"

Suara gemuruh tepuk tangan menyambut Alvaro yang berjalan masuk ke dalam ruang seminar. Dengan mantap ia melangkahkan kakinya naik ke atas panggung. 

Berdiri di hadapan banyak orang bukanlah hal yang sulit lagi baginya, ia cukup sering memberikan pelatihan untuk jumlah dokter yang terbilang banyak.

"Semuanya sudah selesai, setelah ini tolong bawa pasien ke ruangannya dan hubungi saya jika ada perkembangan" ucapku sambil melepas kedua sarung tangan yang sedari tadi menutup tanganku.

"Baik" balas seorang perawat yang bertugas.

Aku berlari secepat mungkin menuju ruang seminar. Kalau saja aku tidak menyetujui ajakan Liora tadi, aku sudah dapat menikmati waktu istirahatku saat ini. Setelah tiba di depan pintu ruangan seminar, aku berhenti untuk beberapa detik dan menggunakan waktu tersebut untuk mengatur kembali jantungku yang berdetak dengan cepat.

Aku membuka pintu ruangan tersebut, aku memang sengaja masuk melalui pintu belakang agar aku tidak mencuri perhatian orang lain di tengah seminar yang sedang berjalan. Aku mengambil beberapa langkah maju sambil berusaha melihat siapa yang sedang berdiri di atas panggung.

"Orang itu....." aku berusaha untuk mengingat wajah orang itu.

Pria yang ku temui tadi adalah pembawa seminar hari ini dan mengingat apa yang aku lakukan padanya tadi, aku hanya dapat berharap ia tidak menyadari eksistensiku di dalam ruangan ini. Kalau ia tau bahwa orang yang menuduhnya tadi mengikuti seminarnya maka habislah harga diriku.

Sial, mengapa Liora harus duduk di baris ketiga dari depan. Jarak itu terlalu dekat dengan panggung!

"Permisi... permisi" ucapku sambil berjalan melewati tiga dokter lainnya yang duduk di barisan tersebut.

"Akhirnya dateng juga, lo kemana aja sih?" tanya Liora dengan volume suara yang sengaja ia kecilkan.

"Ada tindakan tadi" balasku.

Aku terus-terusan melihat ke kiri dan ke kanan, semuanya terlihat fokus dan terkagum-kagum dengannya. Sebenarnya, siapa pria itu?

"Ra, dia siapa sih?" tanyaku kepada Liora.

"Namanya Alvaro Keano, dokter di Jerman yang terkenal karena dia sering ikut berbagai kegiatan volunteer di berbagai negara untuk menolong orang yang kurang mampu. Oh ya, dia ada di bidang yang sama kayak lo loh"

 Aku kembali menatap ke arah panggung. Berbeda dengan wajah dingin yang ku lihat secara dekat tadi, kini wajahnya terlihat jauh lebih ramah dengan senyum hangatnya.

"Nah sesuai dengan topik kita hari ini, sekarang kita akan memberikan kesempatan bagi Dokter Alvaro untuk memilih salah satu dokter di ruangan ini untuk di evaluasi"

Perasaan ini mengingatkanku akan hal yang selalu ku rasakan tiap kali dosenku ingin memilih muridnya untuk di panggil maju ke depan dan menjawab pertanyaannya saat aku masih duduk di bangku kuliah. Sambil menghindari tatapannya, aku berusaha untuk merendahkan posisi dudukku agar wajahku tertutup oleh orang yang duduk di depanku.

"Saya akan memilih..." suaranya yang dapat terdengar dari mic yang ia pegang membuatku lebih gugup.

"Kalau kata guru saya dulu, biasanya orang yang sedang menunduk sedang berusaha untuk menghindari tatapan orang yang ada di depannya. Oleh karena itu, saya memilih dia" ucap Alvaro.

Perasaanku tidak enak saat mendengar ucapannya itu. Aku dapat merasakan berbagai mata yang tertuju kepadaku. Tapi, aku tetap menunduk dan menatap kakiku yang sedari tadi tidak dapat berhenti bergerak.

"Na, itu lo!" ucap Liora sambil memegang lenganku.

"Dokter yang sudah ditunjuk, silahkan maju ke depan"

Aku memejamkan kedua mataku sambil menarik nafas panjang sebelum akhirnya mengangkat wajahku dan berjalan ke atas panggung. Aku menatap kedua matanya dengan tajam, yang lalu dibalas dengan senyuman licik olehnya. Dengan mengikuti instruksi yang diberikan, aku terpaksa berdiri di sampingnya.

Ia berdiri di hadapanku untuk beberapa saat sambil menatapku dari ujung kepala hingga ujung kaki, seolah-olah kedua matanya itu adalah sebuah scanner  yang sedang memindai.

"Dokter Hanna" ia membaca nama yang tertera pada bagian kiri atas jas dokter yang sedang ku kenakan.

"Jangan tegang gitu dong" ucapnya sambil tersenyum kepadaku.

Demi Tuhan, aku benci senyumannya.

Setelah bersikap seperti sebuah scanner, ia kembali mengangkat mic nya sambil berdiri di sampingku.

"Bagi seorang dokter, menyelamatkan pasien adalah hal terpenting. Tapi ada satu hal lainnya yang sering terlewatkan yaitu, kerapihan"

"Sekarang, dengan Dokter Hanna di samping saya, ada beberapa hal yang dapat kita jadikan pelajaran" lanjutnya sambil mengangkat tangannya ke arahku, seolah-olah ia sedang menjadikanku sebagai bahan presentasinya.

"Pertama, mari kita periksa bagian saku jas dokternya"

Ia memasukkan tangan kirinya pada saku jas dokterku dan mengeluarkan bagian dalamnya untuk menunjukkan saku yang kosong.

"Pada umumnya jas dokter memiliki dua saku, di kiri dan kanan. Pada kedua saku tersebut, kita dapat meletakkan dua hal yang dapat berguna pada situasi apapun yaitu, stetoskop dan penlight" semua orang yang berada di hadapanku pun terlihat fokus sambil mendengarkan apa yang dikatakan oleh pria menyebalkan ini.

"Setelah memastikan bahwa kedua hal tersebut ada pada jas dokter, ada satu hal terakhir yang dapat menyempurnakan kerapihan anda"

"Itu" ia menjauhkan mic nya dan menunjuk bercak darah yang terdapat pada bagian kerahku. Aku hanya terdiam sambil mengepalkan tangan kananku, aku tau ia sengaja memanggilku ke atas panggung. Apalagi alasannya jika bukan untuk membalas apa yang ku lakukan kepadanya tadi.

"Maaf" ucapnya sambil mengangkat bagian kerah jas dokterku agar dapat terlihat dengan jelas. Kepalan tanganku yang awalnya terasa panas pun mulai menyisakan ruang bagi angin-angin kecil untuk masuk.

"Melihat warna darah yang terdapat pada bagian ini, sepertinya sang pemilik sudah membiarkannya cukup lama. Tidak ada salahnya bukan jika kita mencuci nya terlebih dahulu?" ia berdiri tepat di hadapanku dan menatapku tepat pada kedua mataku, menghalangi cahaya yang datang dari atas panggung.

"Menjaga kerapihan kita sebagai seorang dokter bukanlah hal yang sulit dan perlu diingat bahwa apapun yang dilihat oleh pasien melalui kedua matanya juga dapat menentukan tingkat kepercayaannya kepada kita, sebagai sosok yang bertanggung jawab atas kesehatan maupun nyawanya selama berada di dalam rumah sakit"

Setelah ia menyelesaikan ucapannya, semua orang menepuk tangannya dengan kencang. 


¹Tanda-Tanda Vital
²Blood Pressure (tekanan darah) , Heart Rate (denyut nadi)
³prosedur pembedahan yang dilakukan dalam suatu rangkaian pengelolaan pasien luka bakar.

LakunaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang