Kapitel 3.1

13.3K 776 11
                                    

"Akhirnya gue bisa duduk" ucap Orin sambil menghela nafas panjang.

"Ada pasien baru di sini!" teriak seorang perawat sambil mendorong ranjang pasien.

"Oke ga jadi" dengan cepat Orin mengangkat tubuhnya dari kursi dan lari menuju arah pasien tersebut.

Akibat gempa kemarin, jumlah pasien yang dibawa ke Medic Center pun bertambah. Jangankan beristirahat, bahkan waktu untuk duduk saja tidak ada. Tapi, tak satu pun dari kami mengeluh. Karena kami tau ini adalah bagian dari tanggung jawab kami. 

"Hanna, bisa bantu gue?" ucap Rendy.

"Oke"

Langkah kakiku terhenti, rasanya apa yang ada di hadapanku terus bergerak ke kiri dan ke kanan. Aku tau ada yang tidak benar dengan tubuhku saat ini. Aku memegang salah satu meja yang terletak di dekatku dengan kencang dan menguatkan diriku sendiri untuk berjalan. 

***

"Akhirnya selesai juga hari ini" ucap Wira setelah meneguk segelas air putih.

"Leher gue mau copot rasanya" lanjut Nike sambil memutar leher nya ke kiri dan ke kanan.

"1,2,3,4,5,6.....10, satu lagi kemana?" tanya Julian setelah selesai menghitung dokter yang pada malam itu sedang berkumpul di depan Medic Center.

"Kak Hanna masih di dalam, katanya masih ada pasien yang harus dia control" balas Orin.

"Dia belum makan dari tadi siang,  emangnya dia ga laper apa?" ucap Wira heran.

"Ya lo tau sendiri kan, sekalinya seorang Hanna udah masuk maka butuh perjuangan untuk mengeluarkannya"

Mendengar perbincangan tersebut, Alvaro bangkit dari tempat duduknya.

"Alva! mau ke mana?" teriak Julian yang sama sekali tidak di hiraukan oleh Alvaro.


"Besok pagi jangan lupa untuk mengganti perbannya" 

"Baik" balas seorang perawat.

"Nih" Alvaro yang saat itu sudah berdiri di belakangku memberikan sebuah sandwich yang masih terbungkus rapat.

"Gue ga laper"

Alvaro menahan lenganku sebelum aku mengambil sebuah langkah maju. 

"Lo belom makan dari siang, ga mungkin lo ga laper"

"Kan ini perut gue, kenapa lo yang lebih tau?"

"Jangan karena apa yang terjadi kemarin lo jadi melakukan semua ini karena beban yang masih ada di hati lo" Alvaro menatapku dengan tajam.

Aku melepaskan tangan Alvaro dari lenganku dengan paksa. Tepat saat aku mengambil beberapa langkah maju, aku merasakan rasa sakit yang luar biasa dari kepalaku. Saat itu juga semua yang ada di hadapanku bergerak ke kiri dan ke kanan,  jauh lebih parah dari apa yang terjadi sebelumnya. 

Itulah yang terakhir kali dapat ku ingat sebelum terbangun di atas ranjang pasien.

"Na, gimana? lo ngerasa pusing atau apa ga?" tanya Nike yang membantuku duduk dari posisi tidurku.

"Jauh lebih baik dari kemarin" balasku.

"Lo tuh telat makan tau ga, jadinya begini kan"

"Sorry, bukannya ngebantu gue malah ngerepotin kalian" 

"Pokoknya abis ini lo ga boleh telat makan lagi, oke? kemarin dokter Alvaro keliatan panik banget. Dia langsung lari sambil gendong lo kesini, dia juga nungguin lo semalaman"

LakunaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang