"Gut gemacht¹"ucap salah satu pimpinan dari rumah sakit sambil menepuk pundak Alvaro.
"Danke mein Herr²"
Seluruh staff rumah sakit pun menepuk tangan mereka, menyambut Alvaro dan team nya yang baru saja kembali.
Setelah penghargaan kecil-kecilan itu, seluruh staff kembali melakukan tugas masing-masing. Sedangkan Alvaro yang saat itu mendapat waktu kosong sebelum kembali bertugas memutuskan untuk pergi ke rooftop rumah sakit.
"Udah gue duga lo ada di sini" ucap Julian yang baru saja menyusul Alvaro.
Alvaro tidak meladeni sahabatnya itu, pandangannya tidak lepas dari pemandangan yang ada di hadapannya.
"Lo kenapa sih? dari tadi muka lo di tekuk mulu"
"Pasti... galau di tinggal pulang ya sama Hanna?"
"Ya gitu deh" Alvaro mengambil kaleng soda milik Julian dan meneguknya.
"Kenapa lo ga tembak aja sih? Gue rasa ga ada yang perlu lo tunggu lagi"
"Ga se-gampang itu Jul. Satu saat gue ngerasa yakin kalau dia juga punya perasaan yang sama kayak gue. Tapi setelah itu, gue ngerasa kalau dia cuman nganggep gue temen dan ga lebih dari itu. Hal itu terus terjadi berulang kali sampai akhirnya gue jadi ga yakin"
"Gue ga tau apa lo tau tentang ini atau ngak tapi kemarin gue sempet nanya temen-temennya Hanna"
Alvaro mengalihkan pandangannya kepada Julian, menunggunya mengucapkan hal selanjutnya.
"Hanna kan cantik, pinter, secara keseluruhan dia cukup perfect. Tapi kok gue liat-liat dia masih single ya? Ga mungkin kan ga ada cowo yang deketin dia"
"Ada sih ada tapi perlu usaha yang sangat ekstra, ibarat kerja lembur tapi ga di bayar uang lembur" balas Wira sambil mengangkat gelas yang berisi air putih.
"Hanna itu terkenal sangat berhati-hati dalam memilih pasangan hidupnya. Bahkan sesama rekan dokter yang ada di rumah sakit juga tau tentang alasan di balik sifatnya yang terkesan dingin dan 'elit' itu" lanjut Nike.
"Alasan?"
"Iya. Sejak bokapnya meninggal, Hanna jadi lebih fokus sama pekerjaan dan tugasnya sebagai dokter. Cita-cita dia cuman satu, jadi dokter handal yang bisa membanggakan keluarganya. Dia mau buktiin ke mamanya kalau pilihannya untuk menjadi dokter itu ngak salah. Sejak ditinggal papanya, Hanna percaya kalau segala sesuatu yang dicintainya juga akan pergi suatu saat nanti. Gue rasa ada ruang kosong yang ditinggalkan oleh almarhum papanya"
"dan ruang kosong itu udah dibiarkan terlalu lama sama Hanna, gue ga yakin kalau dia sadar akan hal itu"
Mendengar cerita itu dari Julian, Alvaro hanya dapat terdiam. Selama ini ia merasa cukup mengenal seorang Hanna tapi ternyata ada hal yang masih terlewatkan olehnya.
"Alva, tentang perasaan orang lain kita ga pernah tau. Tapi kalau lo udah yakin sama perasaan lo sendiri, itu udah lebih dari cukup"
"Ga ada yang perlu lo tunggu lagi" lanjut Julian sambil menepuk bahu Alvaro.
***
Cochem beserta kenangannya. Dalam hitungan menit, aku akan meninggalkan kota ini.
"Na, lo mau temenin gue liat-liat sebentar ga? Tadi gue liat ada toko oleh-oleh gitu di atas, lumayan buat anak-anak daripada gue pulang dengan tangan kosong" ucap Nike.
"Sure"
Aku dan Nike berjalan menuju toko yang dimaksud olehnya. Toko itu cukup besar, mulai dari makanan, tas, hingga pakaian, semua ada di dalamnya. Sepertinya Nike akan membutuhkan waktu yang cukup lama untuk melihat se-isi toko ini. Sambil menunggunya, aku memutuskan untuk keluar dari toko dan melihat isi dari bandara ini dari sebuah jembatan yang terletak di tengah-tengah bandara.