empat belas

865 69 25
                                    

Happy reading.
.
.
.
.
.
.

"Ngomong-ngomong kau punya uang manusia, 'kan? Kita tidak mungkin bisa berbelanja dengan mata uang dari dunia iblis." Selina menatap Seokjin penuh harap.

"Aku punya, tenang saja." Seokjin mengeluarkan dompetnya dan beberapa lembar uang dolar ada di sana "Dan aku masih punya lebih banyak lagi di villa. Mau kuambilkan?"

"Wah...kau memilikinya? Ini keren!! Ternyata kau kakek tampan yang kaya raya." kekeh Selina kemudian tersenyum manis sebelum merangkul lengan Seokjin.

Pria itu melirik wanita di sebelahnya kemudian turut tersenyum. Syukurlah saat pernikahannya kemarin ia sempat menceritakan rencananya ke pulau ini pada Sebastian dan Joonatrius hingga mereka memberinya uang dolar dalam jumlah yang banyak.

"Kalau begitu kau akan memerlukan ini nanti, kakak." ucap Joonatrius waktu itu. Sebastian bahkan memberinya kartu kredit beserta nomer pinnya. Tapi karena Seokjin merasa itu aneh dan ia tak akan bisa menggunakannya jadi ia hanya menyimpan kartu itu di villa bersama uangnya yang lain. Mungkin nanti Selina bisa mengajarinya memakai benda itu.

"Sekarang ayo kita makan!!" seru Selina lalu berjalan sambil menarik lengan suaminya agar mau melangkah di sebelahnya. Dan Seokjin pun menuruti kemauan wanitanya dengan senang hati.

"Makanmu banyak sekali, biar bagaimanapun aku ini laki-laki. Tak ingin mendapat nilai minus di mataku?"

"Tidak, aku tak perduli." ucap Selina dengan mulut menggembung penuh daging kepiting. "Lagi pula aku harus menyiapkan stamina agar tak mati di ranjang saat kau menggagahiku."

"Uhuk! Uhuk!" seketika Seokjin tersedak, telinganya memerah menahan malu mendengar ucapan vulgar gadis belia di depannya. Ternyata ucapan wanita itu benar-benar tak terkontrol.

"Kakek kau kenapa?" kini bukan hanya telingannya yang memerah, mendengar ucapan Selina bahkan membuat wajahnya ikut memerah juga. Selina dengan gerak refleks menepuk-nepuk punggungnya lalu menyodorkan segelas air. Guna menghalau rasa malunya ia segera meneguk air itu, akan tetapi netranya langsung terkunci dalam manik biru safir milik Selina yang menatapnya dengan raut khawatir. Sebuah geleyar aneh kembali merasuki dirinya, dadanya terasa berdebar. Seokjin tak mengerti, mata indah itu seolah menyedot seluruh kesadarannya untuk tenggelam lebih dalam lagi dalam manik biru di hadapannya.

"Kakek... Kau baik-baik saja, kan?"

"Ekhm!" segera ia berdehem lalu memalingkan wajahnya, Seokjin tahu pipinya pasti memerah karena rasa panas yang mengalir dalam dirinya "Bisakah kau berhenti memanggilku kakek? Kurasa aku tak setua itu." ucapnya guna meredam kegugupan. "Kau tak ingin orang-orang menganggap aneh hubungan kita, kan."

Sejenak Selina tampak melempar pandangan ke sekitar. "Tapi tempat ini sepi. Hanya ada sepasang di pojok sana."

Mendengar ucapan Selina, refleks Seokjin memutar kepalanya melihat tempat yang dimaksud wanitanya. Dan benar saja di sana tak ada orang. Kecuali sepasang kekasih atau mungkin juga suami istri yang tengah menikmati makanannya sama seperti mereka berdua dan itu pun letaknya cukup jauh.

"Ya, tapi kau tetap saja tak usah memanggilku kakek, itu menggelikan. Mengingat aku masih sangat tampan, bahkan mengalahkan ketampanan para manusia."

"Cih. Narsis sekali." dengus Selina sambil mencebik. "Biar bagai manapun kau itu kakek. Bahkan lebih tua dari kakek moyangku."

Melihat tingkah Selina yang persis seperti anak-anak tanpa sadar membuat Seokjin tersenyum. Sebuah senyuman yang sudah sejak lama hilang dari bibirnya. "Habis ini kita mau kemana?" tanyanya mengalihkan topik pembicaraan. Karena hari masih siang ketika mereka datang ke sana dan menghabisakan waktu makan siang di sebuah restaurant yang cukup terkenal.

Seven Cursed SoulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang