Apa ini.
Kutatap tajam soal fisika yang baru saja mendarat anggun di mejaku. Sudah kuduga, harusnya aku tidak masuk les saja hari ini.
"Hai."
Oh, dia lagi. Si cowok fanatik IPA. Tumben dia bicara di sini, biasanya ia hanya duduk manis di depan tentor dan mencatat. Oh, 'lagi'? Ya, bagaimana ya? Terkadang ia memang berbicara padaku, namun tidak di sini.
"Hm?"
Dia menyambar kertas soalku. "Heh!" seruku sambil merebut lagi soalku. Dia hanya nyengir kuda, "Bukannya kamu nggak butuh?"
Uh. To the point. Dan itu…
"Ya tapi kan seenggaknya ak—" "Kubantu mengerjakan bagaimana?" tawarnya sambil memutar kursi di depanku. Aku membuang muka cuek, tak peduli dia mau apa. Terserah deh.
"Heh, jawab. Aku serius," ujarnya. Ia menunjuk soal nomor 1.
"Ini dikali yang ini dulu, baru dibagi yang ini. Nah, ini ikut dikali juga."
"Ngapain pake dibagi? Nggak guna banget," desisku.
Dia melotot dan mencubit hidungku. "Heh, emang rumusnya udah gitu, bodo!"
"Eh, siapa lo? Ngatain gue bodo lagi!" bentakku.
Dan perdebatan kami terus berlanjut.
.
.
.
"Sst, dia ngapain?"
"Siapa? Eh tunggu, itu dia ngapain ngomong-ngomong sendiri?"
"Hiii, ngeri ah."