9

9.6K 848 168
                                    

Seorang pemuda dengan seragam sekolahnya berjalan sendiri malam itu, dia mengabaikan tulang-tulangnya yang mulai terasa kaku. Diabaikannya pula wajah sayu yang tidak henti berpeluh karena sudah berjalan cukup jauh. Dia ingin pergi sejauh-jauhnya. Baginya sekarang, untuk apa berada dalam keluarga yang hanya membuatnya berada dalam masalah. Meskipun saat ini dia tidak cukup tahu kemana langkah akan membawanya pergi. Semua upaya telah Sean lakukan. Meminta Nenek Jongcheveevat menjemputnya dan membawanya pergi sudah Sean lakukan namun alih-alih menuruti permintaan itu Sean malah mendapat caci maki karena membangkang pada Daddy nya. Nenek Han? Kakek? Oh ayolah, Sean sudah tidak ingin bersinggungan dengan keluarga dari laki-laki itu --untuk hal apapun.

Nat? Dia sedang berada di luar negri mengikuti tour fasilitas dari perusahaan Pho nya. Sebenarnya Nat meminta Sean untuk tetap pergi ke rumahnya dan tinggal disana beberapa waktu namun Sean menolak, lancang rasanya jika Sean harus ada disana sementara tuan rumahnya tidak ada.

Golf, Ohm dan Earn? Sean tahu ketiga sahabatnya itu tengah berada di club malam lewat intastory yang Jackaon unggah. Sean geram, rasanya seperti Jacskon sengaja ingin menunjukkan pada Sean jika Sean benar-benar ditinggalkan oleh sahabatnya.

"ARGHHHH!" Sean berteriak frustasi lalu mengacak rambutnya yang kini semakin berantakan.

Sean duduk di trotor mengedarkan tatapan ke sekeliling. Hening, hanya dia sendiri.

Mungkinkah Sean harus bermalam di jalan? Membiarkan tubuhnya menggigil kedinginan? Ah apapun itu yang dirasakan Sean, dia tidak peduli lagi, yang terpenting baginya dia harus pergi.

Sean hanya memiliki 2 pilihan. Pertama; bertahan dengan sesuatu bernamakan 'keluarga' yang membuatnya hancur. Atau, kedua; pergi untuk menciptakan kehidupan yang wajar. Sean meimilih option kedua.

Sorot lampu kendaraan menyilaukan mata Sean dan bisa Sean lihat dengan jelas kendaraan itu merapat padanya. Sean tersadar dari lamunnya sendiri dan dengan sadar yang belum kembali sepenuhnya dia mencoba mengenali seseorang yang turun dari motor matic nya itu. Sean bangkit berdiri, bersiap lari jika mungkin saja orang yang datang adalah orang jahat yang membahayakannya. Lampu pijar penerang jalan akhirnya membuat Sean bisa mengenali sosok pemuda itu.

"P Ake?"

"Apa yang kamu lakukan? Kenapa pergi dari rumahmu? Apa kamu bisa hidup sendiri? Apa ingim merasakan menjadi gelandangan?" Ake memberondong Sean dengan pertanyaan bertubi. Sean terdiam bingung. Untuk apa Ake bertanya sebanyak itu? Untuk apa Ake peduli dengan apa yang Sean lakukan? Darimana Ake tahu jika Sean pergi dari rumahnya.

Ake menghembuskan nafas kasar setelah sesaat melihat pada penampilan Sean yang payah.

"Ikut denganku," ajak Ake sambil meraih tangan Sean namun dengan segera Sean menampik uluran tangan Sean. Rasanya sangat aneh jika tiba-tiba seseorang yang bahkan selalu memberinya tatapan dingin mendadak memberinya bantuan. "Anak sialan ini, ikutlah denganku, aku tidak akan membahayakanmu," Ake memaksa Sean namun nada bicaranya dingin dan ingin terlihat tidak peduli.

Sean terdiam, dia mencoba berfikir. "Kamu bisa melaporkan aku ke polisi jika aku melakukan sesuatu padamu!" Ake kembali berbicara datar. Ake sudah berada di atas motornya dan melihat pada Sean, menunggu. "Baiklah. Aku pergi," datar Ake yang mulai menyalakan mesin motornya.

"P Ake! Sean... terimakasih..." ucap Sean gugup.

"Naiklah," datar Ake. Sean mengangguk dan mulai duduk di belakang Ake. Melihat Sean telah nyaman dengan duduknya Ake mulai melajukan motornya pelan.

"Kemana kita akan pergi P?" Sean bertanya takut.

"Jangan banyak bertanya," jawab Ake galak membuat Sean mendengus kesal.

Papa (Sequel Daddy & Papa)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang