8

9.2K 813 60
                                    


Flashback

Pintu kamar yang akan menjadi tempat bermalam Sean dan teman-temannya terbuka, kamar itu luas dengan tempat tidur tingkat yang berjajar seperti di barak namun disana tidak terlalu terang, hanya sebuah lampu meja yang dinyalakan karena penghuni kamar sengaja memadamkan lampu ruangan. Namun orang-orang yang sudah bersiap tidur itu tetap bisa mengenali siluet pemuda yang baru saja membuka pintu.

"Kamu tidur disini?" Golf bertanya pada Sean sambil beranjak duduk. Golf melihat pada Sean cemas.

Sean tidak menjawab.

"Aoh, tidurlah di kamar ini. Aku dan yang lain akan tidur di kamar lain," ujar Earn seraya beranjak.

"Hey, kita tetap bisa tidur disini kan?" Nat bertanya bingung.

"Ckk Nat bodoh apa kamu lupa yang dikatakan Jakson?! Sean anak pasangan gay, jika dia tidur bersama kita bisa saja dia membuat kita menjadi sama sepertinya!" Earn bergumam pada Nat namun suara Earn bisa Sean dengar membuat dada Sean mendadak sesak.

"Hey, kita hanya berteman dengan Sean," Nat menolak pergi.

Sean berjalan mengabaikan suara-suara di dalam kamar itu dan mencondongkan tubuh untuk mengambil ranselnya. Tanpa berbicara apapun Sean kembali berjalan dan pergi meninggalkan ruangan.

"Sean!" Panggil Nat namun tidak dihiraukan oleh Sean.

Sean membawa tubuhnya pergi dengan menenteng ransel hitam kepunyaannya. Taxi sudah menunggu Sean di parkiran lalu membawa penumpangnya itu pergi sesuai permintaannya.

Taxi melaju dengan kecepatan sedang membelah jalanan lengang malam itu. Sean hanya diam di bangku penumpang. Tatapannya menerawang ke arah jendela sampingnya. Tatapan Sean kosong. Mendadak air mata Sean jatuh saat mengingat mata nanar Gulf yang menatapnya kecewa, memang Gulf tidak menangis tapi sorot mata itu terlihat sangat menyakitkan.

"Argh! Sean berhentilah memikirkannya! Dia menghancurkan segalanya, membuatmu kehilangan semuanya, itu sudah cukup!" Batin Sean bergolak. Sean mengusap wajahnya kasar lalu menarik nafas dalam membiarkan rongga dadanya yang terasa sesak terisi udara.

Sekian jam menempuh perjalanan pulang taxi yang ditumpangi Sean tiba di rumah. Sean berjalan gontai memasuki rumah dan segera menuju ke kamarnya. Belum sempat Sean berjalan masuk bisa dia lihat Daddy dan Papanya ada di dalam kamar miliknya itu. Mew duduk di lantai kamar Sean sementara Gulf berbaring di atas ranjang Sean.

"Katakan padaku," Sean mendengar suara Daddy nya menghiba pada Gulf yang terjaga. "Sakitmu, kecewamu dan apapun yang Gulf rasakan katakan pada P. Bahkan jika sakit dan kecewa Gulf itu adalah karena Sean. Na? Katakan pada P...?" Suara Mew terdengar parau.

Sean menangis dan tanpa disadarinya kedua tangannya terkepal erat. Sean mendengus lalu berjalan pergi meninggalkan kamarnya.

"Daddy hanya peduli pada apa yang dirasakan laki-laki itu! Lalu bagaimana denganku?! Apa Daddy peduli aku bahkan tidak memiliki teman sekarang karena mereka tahu aku anak pasangan gay! Arrggh!"

Sean berlari menuju loteng lalu membanting ranselnya. Tidak cukup terluapkan rasa marahnya, Sean meninju kayu-kayu di loteng hingga membuat tangannya terluka. Darah yang menetes dari tangannya dan perih luka disana nampaknya tidak cukup berhasil mengalihkan sakit di dalam dadanya. Akhirnya Sean menangis tersedu lalu ambruk membiarkan dirinya terkulai di loteng. Suara orang-orang yang menghakiminya masih terekam di dalam pikiran dan pendengaran Sean. Tangis Sean semakin keras mengingat jika saat ini bahkan tidak seorangpun melihat padanya.

Seperti baru kemarin dirinya bersama teman-temannya yang lain berjalan-jalan di pasar malam. Seperti baru kemarin orang-orang di sekelilingnya mengeclaim diri mereka sebagai sahabat Sean. Seperti baru kemarin dia tertawa lepas bersama kawannya. Dan hanya dalam hitungan detik Sean kehilangan segalanya.

Papa (Sequel Daddy & Papa)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang