"Ada apa dengan wanita ini? Kemarin baik-baik saja, bahkan bercinta semalaman. Tapi kenapa tiba-tiba terus saja menolak panggilanku seharian ini, pesanku saja ia abaikan. Aku benar-benar tidak mengerti," gerutu Marc yang kemudian melempar ponselnya sembarangan.
Marc mengacak rambutnya kesal. Ia putuskan menuju perusahaan Dave, tapi staff lain bilang Sarah sudah pulang, ia pergi ke apartment juga tidak ada. Marc frustasi.
Ia lajukan mobil tanpa tujuan, berharap bisa menemukan keberadaan Sarah dan tiba-tiba ponselnya berdering.
"Sarah. Kau di mana? Kau membuatku khawatir. Katakan kau ada dimana sekarang," serang Marc.
"Ya. Aku akan ke sana sekarang," Marc menutup teleponnya dan segera menuju cafe yang disebutkan Sarah.
Seorang pelayan menyapa Marc ramah, tapi pria ini mengabaikannya dan mencari sosok Sarah diseluruh penjuru ruangan.
Ada di sana. Di sudut ruangan, duduk sendirian, menikmati secangkir kopi, menampilkan leher jenjang yang begitu menggoda terbukti dari beberapa pria di dalam ruangan ini terus memperhatikan dia. Marc sempat mendengar di antara mereka bertaruh bisa mengajaknya ke atas ranjang. Bermimpilah mereka saat melihat Marc dengan segala karismanya menghampiri dan mencium bibir Sarah.
"Apa yang kau lakukan?" Bisik Sarah.
"Menandaimu."
"Kekanakan sekali."
"Mereka terlalu menginginkanmu, dan kau tahu pasti aku tidak akan pernah membiarkannya."
Sarah tak menanggapi.
"Apa yang ingin kau sampaikan ditelepon tadi?" Tanya Marc.
Sarah menarik nafas, dan Marc merasa ada yang tidak beres di sini.
"Kita hentikan semuanya di sini Marc."
"Apa maksudmu, Sarah?"
"Akan ku katakan semuanya, dan kau bisa putuskan sendiri. Aku tidak akan memaksamu."
"Apa itu?" Tanya Marc.
"Dari dulu keluargamu menentang hubungan kita. Aku sempat percaya diri saat melihat Pak Dave dan Nyonya Audrey akhirnya bersatu dan aku memutuskan untuk memulainya kembali denganmu. Keluarganya menerima Nyonya Audrey apa adanya, tidak mempermasalahkan asal usulnya, aku berharap itu terjadi padaku juga. Pak Dave selalu memberiku semangat, membuatku percaya keluargamu tidak seburuk seperti yang ada dipikiranku karena kalian dari keluarga yang sama. Tapi satu minggu lalu Ibumu datang menemuiku lagi, mempermasalahkan hubungan kita lagi. Dan sekarang aku sudah lelah melarikan diri. Jadi berfikirlah dan putuskan sendiri. Berhenti menemuiku atau buat hubungan ini lebih jelas di depan keluargamu."
"Jadi ini alasan kau menghilang selama ini?" Tanya Marc seolah pada dirinya sendiri. "Tak ada yang harus aku fikirkan lagi, Sarah. Kau pun tahu aku hanya menginginkanmu."
"Dan aku tahu, selama aku tidak ada kau selalu bercinta dengan banyak wanita di luar sana."
Marc terdiam, karena itu memang benar.
"Huh!" Sarah mendengus kesal. "Padahal aku hanya menebak."
"Membayangkan mereka adalah dirimu, dan aku selalu menyebut namamu untuk mereka dan itu tak senikmat saat bersamamu, Sarah."
Marc meraih pergelangan tangan Sarah, menggenggamnya tapi wanita ini menariknya dan lebih memilih memainkan bibir cangkir kopi.
"Sarah, katakan. Kau juga ingin hubungan kita berakhir bahagia bukan?"
Sarah hanya diam.
"Katakan saja kau masih menginginkanku, dengan pakaian yang kau kenakan malam ini, kau ingin mengikatku seutuhnya," kata Marc sembari memperhatikan dua gundukan di dada Sarah hampir menjembul keluar karena saking besarnya.