07 : Inggrit Clarissa Surendra

57.7K 7.2K 172
                                    

"Itu siapa? Pacar?" Vira berbisik pelan seraya memberikan kode ke arah Arion dengan lirikan mata.

Aku dan Arion sedang berada di rumah Vira, acara syukuran juga baru selesai. Beberapa tamu dan keluarga Vira masih berada di sini. Mereka kumpul-kumpul dan mengobrol ringan. Sedangkan aku menunggui Arion yang sedang berdiskusi dengan Laksa –suami Vira.

"Bukan. Teman doang," sahutku singkat.

Sialnya Vira justru menggodaku, dia menyenggol-nyenggol bahunya ke bahuku. Membuat Zeline yang tertidur di gendongan Vira sedikit terganggu dan menangis pelan. Aku mendengus menatap Vira yang justru tertawa dan menimang pelan Zeline.

"Teman hidup ya?" Vira masih saja menggodaku.

"Iya lah teman hidup, orang dia bernapas gitu Vir," sahutku sambil mencibir.

Vira mengangkat Zeline yang ternyata terbangun, dia menirukan suara anak kecil dengan kalimat menyebalkan. "Aunty Inggrit malu-malu meong ih. Zeline suka sama uncle-nya ganteng!" ucap Vira.

"Ini anak lo ntar bakalan mirip lo Vir. Jangan diajarin yang aneh-aneh, kasihan gue sama Laksa kalau harus tinggal sama satu lagi orang yang kelakuannya macam lo," omelku membuat Vira hanya tertawa pelan.

Aku tersenyum menatap Vira yang tertawa dan mengajak bermain Zeline. Bertemu Vira seolah-olah membuatku melihat sosok Meisya. Adik perempuan yang selalu aku sayangi, yang sudah lebih dahulu berada di surga.

Vira berteman baik dengan Meisya, bahkan hingga akhir pun yang Meisya ingat hanya Vira. Aku ingat sekali saat Meisya dalam masa kritis sempat menanyakan kondisi Vira. Dia juga memintaku untuk sering-sering melihat Vira.

"Lo kapan mau nikah? Nanti bisa ditikung Zeline, bahaya," ujar Vira membuyarkan lamunanku soal Meisya. Aku mengerjap pelan, menghalau air mata yang sudah menggenang.

Aku tersenyum melihat Vira dan menimpali kata-katanya dengan guyonan. "Nggak papa. Nanti Zeline kalau sudah besar sering-sering temanin gue aja," candaku membuat Vira mendelik.

"Buat sendiri lah! Masa anak gue mau lo ambil sih. Ibu ratu jahat sekali," keluh Vira yang mengeluarkan nama julukannya untukku.

Dulu aku sempat menjadi manager di Saladin Group dan membawahi Vira. Diam-diam Vira menjuluki ibu ratu yang kata Vira galak. Dia bahkan mengaku beberapa kali sempat memaki dan mengataiku diam-diam.

Untung anak yang punya perusahaan, kalau bukan? Udah aku pites!

Vira berdiri pelan sambil menimang-nimang Zeline yang mulai mengantuk. Aku memperhatikan suasana rumah Vira dengan seksama. Rumah besar dan banyak orang yang berlalu lalang. Aku juga menemukan beberapa artis saat acara tadi, wajar saja sebenarnya. Vira ini anak kembar, dia mempunya saudara kembar Varol Saladin, itu loh celebrity chef yang terkenal. Kemudian menikah dengan mantan aktor laga legendaris –Laksamana Hadi Aji.

Aku menatap Arion dan Laksa yang sedang berbincang serius. Entah apa yang mereka bicarakan, aku juga tidak begitu ingin tahu. Itu urusan pekerjaan Arion, setidaknya aku sudah membantunya bertemu dengan Laksa.

"Dia kerja di Adipura Techno sebagai apa?" tanya Vira sambil memberikan kode ke arah Arion dengan dagu lancipnya.

Aku menaikkan bahuku sebagai jawaban. "Nggak tahu, setiap gue tanya dia ambigu jawabnya. Hanya bilangnya karyawan," sahutku santai. "Nggak penting ini," lanjutku.

Vira mendengus pelan, mungkin dia sebal dengan jawabanku yang tidak memuaskan rasa penasarannya. "Lo nggak tertarik sama Arion? Kayaknya dia oke juga, walaupun gajinya nggak begitu gede ..." Vira berhenti sejenak, dia membenarkan letak gendongan Zeline. "Seenggaknya lo banyak duit. Bisa lah sebagai tambah-tambah," lanjut Vira.

"Emang gue kelihatan sengenas itu?" cibirku.

Vira menggelegkan kepalamya pelan. "Bukan gitu. Lo tuh dulu perempuan paling badass yang pernah gue temui. Sampai sekarang pun masih, hanya saja kayaknya lo udah emang harus kudu wajib punya suami," nasihat Vira.

"Lo habis ngelahirin kok jadi bijak? Urat lo ada yang putus gegara ngejan?" cibirku membuat Vira mengomel tambah panjang.

∞∞∞

Aku melirik ke arah Arion yang dengan tenang mengemudi. Terlalu asyik mengobrol membuat kami tidak sadar jam. Saat keluar dari rumah Vira, jam sudah menunjukkan jam delapan malam.

Jalanan malam ini juga sedikit padat, beberapa kali mobil merayap pelan. Belum lagi suasana sunyi yang menyiksa. Tidak ada pembicaraan antara aku dan Arion, terlihat sekali bahwa ada kecanggungan.

Beberapa kali aku menerima serangan gombal Arion, bukannya aku tidak ingin menanggapi. Seorang perempuan terus-terusan digombalin pasti luluh juga, tapi aku tidak berani melangkah. Apa lagi sosok Arion ini sangat misterius dan membuatku semakin ragu-ragu.

"Besok malam lo mau nonton bioskop nggak?" tanya Arion yang akhirnya membuka suara juga.

Aku bergumam pelan, berpura-pura berpikir. "Boleh deh Mas," sahutku sambil membuang muka ke arah jendela. Tidak ingin Arion melihat senyumku yang mengembang.

"Laksa dan Pak Aji tadi banyak muji kinerja lo," gumam Arion yang sepertinya sedang mencari-cari bahan pembicaraan.

"Nggak usah bohong deh Mas. Nyari-nyari bahan banget sih," gerutuku membuat Arion tertawa pelan.

"Seriusan gue Ing!"

"Suka-suka lo deh Mas!"

"By the way, di jok belakang ada paper bag. Itu buat lo Ing," kata Arion membuatku menatapnya heran. Arion melirikku sekilas. "Dilihat dulu, kalau nggak suka lo boleh balikin ke gue," lanjutnya.

Aku pun memutar badanku ke arah jok belakang, tanganku menggapai sebuah paper bag berwarna pink muda, ada aksen pita yang menjadi pemanis. Aku membuka paper bag tersebut dan mengintip isinya. Mataku terbelalak kaget melihat isi paper bag tersebut, bukan sebuah tas, baju atau barang-barang khas perempuan lainnya.

"Apron?" tanyaku sedikit tertawa kecil ketika mengeluarkan benda tersebut. Apron berwarna biru langit polos, di tengahnya terdapat bordiran yang membuatku ingin mengatai Arion alay. "Harus banget dibordir Hello, I am Iing?" tanyaku sembari membaca kalimat yang terpatri di apron tersebut.

Arion tersenyum lebar. "Lucu kan? Kayak lo Ing," komentar Arion membuatku merinding.

"Kayak ABG lo Mas."

"Masih cocok lah Ing. Muka gue nggak tua-tua banget kok, umur doang yang tua," kilahnya. "Diterima kan?" tanya Arion.

"Iya diterima," sahutku.

"Beneran diterima nih? Emang lo tahu gue nanya apaan?" Arion membelokkan mobilnya masuk ke dalam komplek perumahanku.

Aku melihat sebal ke arah Arion. "Terima hadiahnya kan?" sungutku membuat Arion tertawa.

"Terima perasaan gue maksudnya Ing," celetuk Arion membuatku semakin kesal.

"Bercanda mulu lo Mas!" protesku membuat Arion tergelak.

Sebenarnya ada yang Arion tidak tahu, detak jantungku sudah bertalu-talu sejak tadi. Sejak aku menerima hadiah yang menurutku lucu. Selama ini pria yang melakukan pendekatan denganku hanya memberikan barang-barang biasa. Tidak ada yang berpikir dengan aneh seperti Arion ini.

Tuhan, aku takut jatuh terlalu dalam padanya. Pada dia yang aku tahu punya banyak pemuja lain selain aku. Tapi, bisa dan bolehkah aku mengharap bahwa dia benar-benar serius denganku?

Gumamku di dalam hati yang diamini oleh hati kecilku.

Bersambung

Maaf ya aku baru sempat update, aku tadi siang sama sore tiba-tiba ada kerjaan mendadak. Maklum lah aku hari Sabtu tetap masuk kerja.

Ramaikan ya, biar besok aku bisa bom update

Pin On Top (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang