Bab 3

80 15 0
                                    

Dengan tangannya sendiri, Seungwoo merawat Dongpyo. Setelah berhasil menghentikan pendarahan dan dibawa keluar dari Jioegi, Seungwoo yang setiap hari membasuh wajah dan tubuh Dongpyo. Menggantikan pakaiannya. Menjaganya setiap waktu kalau tiba-tiba sadar dan butuh minun atau makan.

Seungwoo hampir kehilangan harapan, lima hari berlalu dan Dongpyo belum juga sadar. Sering kali mata Seungwoo terpejam. Bukan tidur, melainkan menyesali masa lalu.

Jika ia tidak bisa hidup tanpa pemuda ini seperti sekarang, seharusnya ia tidak pernah meninggalkannya. Bahkan jika itu adalah satu-satunya cara agar mereka bisa bersama lagi, seharusnya Seungwoo tidak pernah meninggalkan Dongpyo. Seungwoo sudah berjanji akan selalu melindunginya. Bahkan Dongpyo juga meminta hal tersebut. Dan bagaimana mungkin, dulu Seungwoo tega meninggalkan pemuda ini sendirian. Baginilah jadinya sekarang. Dongpyo terbaring tak berdaya. Ia sekarat. Dia bahkan ingin menjemput kematiannya sendiri. Jika kematian benar-benar menghampiri, Seungwoo tidak akan ragu untuk melakukan hal yang sama dengan Dongpyo.

Entah untuk berapa ratus kali helaan napas berat keluar dari mulut Seungwoo. Pria dengan mata yang memerah kekurangan tidur itu menatap wajah pucat Dongpyo. Tanpa sadar, ia mengikuti tarikan napas Dongpyo yang lamat. Dan saat mata Dongpyo mengerjap perlahan, mata merah Seungwoo membeliak lebar. Tak terkendali, pria dewasa itu merangkak mendekati tempat Dongpyo berbaring.

"Dongpyo-gun?" panggil Seungwoo lirih sambil menyurukkan wajah semakin dekat. Memastikan apa benar Dongpyo tadi sudah sadar.

Dongpyo tak menjawab. Ia kembali memejamkan mata. Belum sanggup beradaptasi dengan cahaya lentera yang terletak tepat di sebelah kasurnya.

"Tunggu sebentar, akan saya panggilkan tabib untuk Anda." Menyadari kelancangannya, Seungwoo segera menarik diri dan belalu dengan sopan untuk mencari tabib seperti yang ia katakan.

Samar-samar Dongpyo mendengar keributan dari luar. Pintu yang masih terbuka membiarkan angin malam masuk, menerpa pipi Dongpyo yang terasa kebas. Pemuda itu meggerang tak nyaman. Sejurus itu pula, rasa nyeri langsung memenuhi mulutnya. Membuat ia mengernyit dan refleks membuka mulut.

Ah, lidahku masih utuh.

Dua orang tabib masuk ke dalam ruangan. Dongpyo membiarkan mereka memeriksa dirinya. Menurut kala diminta membuka mulut lebih lebar. Tak keberatan pakaiannya dibuka. Tidak terusik ketika seluruh tubuhnya dijelajahi. Namun selama proses tersebut, fokus mata Dongpyo berada di sudut ruangan. Adalah pria jangkung dengan wajah penuh kekhawatiran yang menyita penuh perhatiannya hingga rasa nyeri di dalam mulutnya hilang  ... walau sebentar.

Tatapan mereka bertemu. Sejuta kata tersirat di dalamnya, tapi tak sepatah suara pun keluar dari mulut mereka.

***

Sesendok bubur hangat disodorkan ke depan mulut Dongpyo. Bergantian mata pemuda itu menatap si bubur dan pemilik tangan yang menyuapinya. Sudah hampir satu menit, bubur di atas sendok itu pasti sudah hampir dingin.

Sejak sadar semalam, Dongpyo memang belum sekali pun buka suara kecuali waktu diminta tabib. Hingga sekarang ia mengunci mulutnya. Seungwoo paham, akan sulit bagi Dongpyo untuk menerima dirinya lagi. Tapi ....

"Anda harus makan jika ingin cepat pulih."

Seungwoo kembali menyendok bubur dalam mangkuk. Menggantinya dengan yang lebih hangat.

"Dongpyo-gun, saya mohon." Pria dewasa itu benar-benar memohon pada pemuda yang jauh lebih muda darinya itu. Ia tanpa ragu menundukkan kepala, setengah bersujud, tapi sendok masih tercung di depan wajah Dongpyo.

𝐭𝐡𝐞 𝐦𝐨𝐨𝐧 𝐭𝐡𝐚𝐭 𝐧𝐞𝐞𝐝 𝐭𝐡𝐞 𝐬𝐮𝐧𝐥𝐢𝐠𝐡𝐭Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang