"Putra Mahkota pergi untuk mengunjungi kediaman Ibu Suri, Pangeran Hyun."
Setelah mendapat informasi tersebut, Dongpyo langsung kesetanan pergi menyusul yang ia cari. Tak mengindahkan derajatnya, pemuda itu berjalan dengan langkah lebar-lebar. Bila dirasa jalan yang ia lalui tak ada tanda-tanda kehidupan, ia tak akan segan berlari kencang sampai mengangkat jubah supaya lebih mudah bergerak.
Begitu mendapati rombongan Putra Mahkota, Dongpyo berteriak memanggilnya, "Putra Mahkota, tunggu!"
Sederet pelayan langsung berhenti saat Eunsang menoleh. Mereka menyingkir, memberi kelonggaran baginya untuk melihat kedatangan Dongpyo.
Saat sampai di hadapan para pelayan, Dongpyo berhenti sebentar untuk memperbaiki letak pakaian dan topi kebanggaannya. Setelah itu dengan penuh sikap santun ia mendekat pada Eunsang.
"Salam, Putra Mahkota."
Eunsang membalas salam Dongpyo dengan sebuah anggukan kepala.
"Saya dengar Anda akan berkunjung ke kediaman Ibu Suri."
"Ya, kita sudah ada di depan gerbangnya."
Dongpyo pun mendongak. Ekspresinya memohon, tapi dengan gaya memaksa. "Saya mohon, jangan pergi."
"Tidak bisa." Eunsang hendak melanjutkan langkahnya, tapi kali ini Dongpyo dengan berani menahan lengannya.
"Kita pergi dulu dari sini dan bicara."
"Biarkan aku masuk dulu, setelah itu baru kita bicara."
"Ahgr! Ayolah, untuk apa kau menemui Ibu Suri?" Habis kesabaran, Dongpyo pun berbicara dengan bahasa informal. Lengan Eunsang ia hentakkan.
"Aku harus bicara dengan Ibu Suri," Eunsang masih menjawab dengan nada halus meski diperlakukan seperti itu oleh Dongpyo. Andai Dongpyo bukan seorang pangeran dan memiliki hubungan erat dengan Eunsang, ia pasti sudah dipenjarakan.
"Bicara mengenai apa?"
"Pernikahanmu."
"Kenapa kau harus membicarakan itu dengan Ibu Suri? Aku yang mau menikah!"
"Tentu aku harus bicara. Niat beliau memang baik, mencarikan calon istri unntukmu, tapi kenapa memilih seorang perempuan dari keluarga yang pernah terlibat dalam kasus percobaan pemberontakan?"
Tubuh Dongpyo menegak, menatap Eunsang dengan serius. "Putra Mahkota, tidak seharusnya Anda berkata seperti itu."
Eunsang menghela napas. Ia tahu ucapannya lancang, tapi ia tetap tidak bisa menerima keputusan Ibu Suri. Fakta itu harus diketahui semua orang agar mereka tahu kenapa Eunsang menentang keputusan beliau. "Dan lagi, dia sudah berumur 26 tahun, Pangeran Hyun. Tidakkah itu keterlaluan untukmu?"
"Tidak," jawab Dongpyo mantap.
Mata Eunsang mengerjap beberapa kali. Setelah itu dia berbalik, tak mau berdebat dengan Dongpyo, apalagi di depan kediaman Ibu Suri seperti ini.
"Lee Eunsang! Ayolah, kumohon. Jangan membuat semuanya rumit. Ah, maaf. Maksudku, kau tidak perlu melibatkan dirimu dalam masalah seperti ini. Kau itu Putra Mahkota, kau memiliki banyak hal untuk dilakulan dan itu lebih penting daripada mengurusi calon istriku.
"Lagi pula, kita belum mengenal wanita itu, bagaimana kau bisa menentangnya sekeras ini? Kalau dia tahu, bagaimana perasaannya nanti? Mengenai keluargannya pernah terlibat dalam percobaan pemberontakan, semua itu salah. Mereka bersih. Tidak seharusnya kita menilai mereka rendah.
"Pikirmu kenapa bisa wanita itu berumur 26 tahun dan belum menikah? Pasti karena orang-orang yang menilai mereka dengan cara ...," Dongpyo tidak berani melanjutkan kalimatnya karena belasan pasang telinga mendengarkan.
"Sepertiku?"
"Maaf, bukan itu maksudku. Tapi, tidak bisakah kau menerimanya? Aku juga sudah 17 tahun, tidak pantas lagi tinggal di istana."
"Pangeran Hyun!" Eunsang menegur Dongpyo. Ia tidak suka jika Dongpyo merendahkan dirinya sendiri. Mereka itu saudara yang artinya sama saja.
"Aihh. Iya, iya. Aku juga ingin menikah sepertimu."
"Iya, tapi tidak dengan wanita itu itu." Eunsang diam sejenak. "Baiklah, aku tidak akan menemui Ibu Suri. Ayo, kita ke kediaman Ratu dan meminta tolong padanya. Itu pasti jauh lebih mudah. Astaga, kenapa tidak terpikirkan oleh sejak tadi?"
Dongpyo menggerang. Ingin rasanya dia berguling-guling di tanah mendengar ide baru Eunsang.
"Jangan! Jangan pernah pergi ke mana pun. Kembalilah ke kediamanmu dan belajar. Apa pun yang terjadi, aku akan tetap menikahi wanita itu."
Melihat kesungguhan Dongpyo sepertinya Eunsang benar-benar harus mengalah. "Baiklah, jika itu keputusanmu."
Dongpyo mengangguk dengan penuh semangat, membuat seulas senyum manis terukir di wajah Eunsang, ditemani dengan sebuah tahi lalat di dagu yang membuatnya telihat makin indah. Dua sosok tersebut saling bertukar senyum, menyalurkan kasih sayang satu sama lain dengan cara mereka sendiri. Senyum Dongpyo adalah suatu hal yang Eunsang syukuri, karena itu berarti saudaranya itu bahagia. Sedangkan senyum Eunsang, bagi Dongpyo adalah hal berharga yang perlu ia lindungi.
"Ya, sudah kalau begitu. Kita tidak perlu masuk ke dalam, 'kan?" Dongpyo menarik diri, mensejajarkan diri dengan kepala pelayan, memberi jalan untuk Eunsang.
"Apa kau sudah pernah melihat wanita itu?" tanya Eunsang saat ia mulai beranjak.
"Hehe, kenapa?"
"Apa dia cantik?"
"Astaga, kenapa Putra Mahkota ingin tahu? Apa Anda sudah berencana untuk memiliki selir?"
"Aku bertanya tentang calon istrimu, kenapa jadi aku yang kena?"
"Kalau cantik memangnya kenapa?"
"Pantas kau tetap bersikeras untuk menikahinya."
Dongpyo merangkul bahu Eunsang yang lebih tinggi darinya. Mau tak mau Eunsang menundukkan badan, terima saja musti berjalan dalam posisi tak nyaman. "Hey, mengaku saja. Kau tidak ingin kutinggalkan, 'kan?"
Tulang rusuk Dongpyo disikut hingga ia melepas rangkulannya dan memegangi bagian yang disikut Eunsang. Eunsang tidak menjawab, memilih jalan lebih dulu.
"Hey, jujur saja pada hyungnim-mu ini."
"Iya. Apa kau puas, Hyung-nim?"
Dongpyo tertawa senang, mengejar Eunsang untuk merangkul bahunya lagi. "Tenang saja, aku akan sering berkunjung."
"Kuingat janjimu."
"Siap!"
Keduanya tertawa bahagia tanpa tahu rombongan Ibu Suri mengamati mereka dengan rupa tak senang. Ia baru kembali dari kediaman salah seorang selir saat mereka berdebat tadi, mengawasi dari jauh bagaimana Dongpyo berhasil mengubah jalan pikiran Putra Mahkota. Wanita tua yang tetap terlihat cantik juga menawan itu tersenyum miring. "Aku memang sudah mengambil keputusan yang tepat. Pangeran Hyun tidak boleh terus berada di sisi Putra Mahkota. Dia selalu mempengaruhi Putra Mahkota seolah-olah Putra Mahkota adalah bonekanya. Bukankan begitu, Sookhwi?"
"Tentu, Ibu Suri. Pengeran Hyun akan sangat berbahaya jika ia terus dekat dengan Putra Mahkota, apalagi saat Putra Mahkota naik tahta. Raja kita nanti akan cuma jadi raja boneka jika orang-orang seperti Pangeran Hyun terus berada di sisinya," sahut sang kepala pelayan dengan fasihnya.
[.]

KAMU SEDANG MEMBACA
𝐭𝐡𝐞 𝐦𝐨𝐨𝐧 𝐭𝐡𝐚𝐭 𝐧𝐞𝐞𝐝 𝐭𝐡𝐞 𝐬𝐮𝐧𝐥𝐢𝐠𝐡𝐭
أدب الهواة( SEUNGPYO HISTORYCAL FICTION ) Bulan membutuhkan sinar matahari untuk bersinar di malam hari. Sama seperti Seungwoo yang membutuhkan Dongpyo untuk tetap melanjutkan hidup. ______________________ 130520