Part 7

21 4 0
                                    

AuthorPOV>>

"Ko, gue rasa, ini udah saatnya lo rajin masuk kelas. Udah semester 4 bro. Dan lo masih gak niat belajar. Ya gue tau lo anak orang kaya, tap__" Omongan Azka terputus saat Driko menyela.

"Stop, Ka. Jangan bawa-bawa orang tua gue dalam masalah ini" Driko mengalihkan pandangannya ke luar cafe.

"Ya kalo gak gitu, lo gak sadar-sadar, Ko" Azka agak kesal, namun ia tetap tenang kali ini.

Slurp~ Driko menyesap cappuncino hangatnya.

"Ada saatnya nanti, Ka. Lo tenang aja. Lihat gimana melesatnya sepupu lo ini" Driko berbicara demikian tanpa sedikitpun melihat ke arah Azka. Sebenarnya ia sendiri tak yakin, mengingat selama ini kerjaannya cuma bermain-main.

"Ya, asal deh.. jangan cuma omdo" kali ini Azka meminum habis kopi hitam yang dipesannya.

"Lagian lo tumben merhatiin sekolah gue? Pasti disuruh bokap gue kan?" Tebak Driko tepat sasaran.

"Hm" Azka menjawab singkat sembari berdiri. Ia rasa, percakapannya dengan Driko untuk hari ini sudah cukup. "Gue duluan. Dan minum lo udah gue bayar" Setelah berucap demikian, Azka langsung menuju parkiran.

"Hufth!!" Driko hanya bisa menghembuskan nafas kasar, lalu ia meraih jaket parasutnya yang tersampir di sandaran kursi. Lantas, Driko bergegas pula ke parkiran, lalu menghidupkan mesin motor ninja merah kesayangannya dan melaju meninggalkan area parkir.

***

Selama di perjalanan pulang, Azka menghidupkan musik. Pandangannya beralih pada cermin yang tergeletak di dashboard mobilnya. Cermin itu milik seorang gadis yang akhir-akhir ini mengganggu pikirannya. Tadi, sebelum singgah di cafe, Azka sempat mengantar gadis itu pulang karena tak sengaja ketemu, waktu gadis itu sedang menunggu kendaraan umum di pinggir jalan. Dasar cewe pelupa.

Pikiran Azka beralih lagi. Ia memikirkan cara ampuh untuk membuat sepupunya, Driko niat belajar. Ia jadi ingat masa lalunya. Dulu, sewaktu ia dan Arinda belum duduk sebangku, Azka juga sebelas duabelas sama Driko. Malas masuk kelas, ke kantin pas jam pelajaran, ngantuk, tidur di kelas. Pokoknya gak niat belajar. Tapi Arinda memotivasinya untuk lebih semangat belajar, seenggaknya untuk gak ngebolos ke kantin lagi. Intinya, Arinda bawa perubahan baik buat Azka. Buktinya, Azka yang tadinya peringkat 37 dari 40 siswa, naik jadi peringkat 27. Sebelumnya Azka bahkan gak pernah masuk 30 besar.

Kayanya gue harus bikin Driko dekat sama Arinda deh. Tapi gimana sama Regal ya? Ah Peduli amat sama si Regal. Kayaknya tu anak bakal terima dengan sendirinya. Lagian dia udah tau perasaan Arinda gimana ke dia. Batin Azka menimbang-nimbang.

"Kalau kamu bisa membantu atau sekedar memberi saran supaya Driko lebih niat belajar, dan itu berhasil, om akan ngasih kamu imbalan yang,,, yah! Lumayan untuk tabungan kuliahmu" kata-kata Jeri, alias papa Driko kembali menari di kepala Azka. Tawaran omnya itu lumayan menggiurkan. Dan Azka percaya pasti nggak mengecewakan. Tapi hal ini tidak diketahui siapapun. Perjanjian itu hanya antara Azka & Jeri, ayah Driko. Lagian menurut Azka, hal ini dianggapnya 'sambil menyelam, minum air'. Ia senang jika Driko lebih terarah, ia juga benar-benar menyayangi sepupunya itu kok. Tapi, jika ada iming-iming imbalan, kenapa tidak diterima? Azka itu selalu percaya dengan kesempatan dari Tuhan. Mungkin ini salah satu jalan yang dikasih Tuhan supaya dia nggak terlalu merepotkan kakaknya.

***

Angin malam itu mengantarkan Azka sampai ke depan rumah Arinda. Rumah Arinda jauh lebih kecil dan lebih sederhana dari rumah Azka. Rumah Arinda dikelilingi pagar dari tanaman kembang sepatu yang selalu terawat oleh tangan Arinda, yang Azka tau, setiap 2 minggu pagar kembang sepatunya selalu rutin dipangkas. Halamannya dipenuhi bunga-bunga yang kata Arinda, bibitnya hasil ngemis dari tetangga. Azka sempat terkekeh mengingat curhatan sahabatnya itu. Dan yang paling penting, di dalam rumah itu ada kehangatan yang tak ia temui di rumahnya yang gedongan itu.

The Story of Arinda (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang