Part 11

15 3 0
                                    

AuthorPOV>>

"Heh. Mau kemana lo? Siapa bilang gak ada bukti?" Azka tiba-tiba datang menghalangi Werin yang akan menuruni tangga dari arah rooftop sekolah. Azka melirik pada Regal yang menoleh ke arahnya.

"Maksudnya gimana, Ka?" Regal bertanya pada Azka.

"Nih. Di dalam video ini, kita bisa ngeliat gimana kurang ajarnya ni cewek" Azka mendorong bahu Werin dengan dua jarinya. Sangat hina. Ia menyodorkan HP milik Driko pada Regal.

"Udah, Ka. Jangan terlalu kasar. Inget. Dia cewe" Regal mengingatkan Azka.

"Halah. Cewe modelan kaya gini ga pantes dilindungi. Apalagi udah berani bikin sahabat gue kaya gitu. Sahabat gue itu juga cewe, Gal" Azka menatap Werin dengan tatapan teramat benci. "Apa sih isi otak lo, ha?" Yang ditatap cuma bisa diam, nundukin wajahnya.

"Ka. Udah. Lebih baik, masalah ini kita bawa ke BK aja." Regal menepuk-nepuk bahu Azka.

"Apa-apaan sih. Memang siapa yang ngerekam itu?" Werin bersuara.

"Masih berani ngomong ya lo, biadap!" Azka melontarkan kata kasarnya.

"Sabar, bro. Tenang" Regal menenangkan Azka.

"Lo gak perlu tau siapa yang ngerekam. Udah jelasnya, lo yang bikin Arinda celaka. Dari perkataan lo aja, lo itu lebih hina daripada Arinda. Lo tau? Bahkan Arinda itu lebih terhormat daripada lo." Azka menyemburkan amarahnya, lagi-lagi.

"Arinda, Arinda, Arinda!!! Arinda terus!!! Nyesal gue pernah suka sama lo. Lo itu cuma dimanfaatin sama Arinda!" setelah berkata demikian, Werin mengangkat kakinya ingin menuruni anak tangga menuju lantai dasar.

Tapi usahanya sia-sia. Langkahnya tertahan oleh tangan Azka. "Mau kemana lo, ha? Oiya, apa tadi? Apa lo bilang? Nyesel pernah suka sama gue? Haha! Gue yang jijik ditaksir sama cewek kaya lo." Azka tersenyum menyeringai di depan wajah Werin. Bahkan hembusan nafasnya ketika berbicara mengenai wajah Werin. "Jelas Arinda itu lebih baik dari lo. Bahkan jauh lebih baik. Gue kasih tau ya, biarpun Arinda gak se-kaya elo, dia itu masih punya akhlak. Gak kaya lo. Coba lo ngaca sekali-kali. Biarpun Arinda manfaatin gue kayak yang lo bilang, gue senang-senang aja. Gue ikhlas. Oiya, Jangan bawa-bawa mama Arinda ke dalam masalah apa pun kalo lo ngomong sama Arinda. Hah! Emang lo punya nyokap sebaik mama Arinda" ujar Azka. Kalimatnya menohok gadis di hadapannya.

"Udah, Ka" suara Regal melerai. Tapi usahanya sia-sia belaka.

Werin diam, mengingat mamanya yang begitu sibuk. Sampai tak sempat untuk sekedar tersenyum padanya.
Air mata Werin tertahan di pelupuk matanya. Ia berkaca-kaca. Tapi gengsinya yang begitu besar menolak untuk mengucurkan air mata itu. Di hatinya saat ini hanya ada benci, benci dan benci untuk Arinda.

"Lo udah keterlaluan banget sih, We. Sampe tega berantakin bekel makan siang Arinda. Nyokapnya itu beli beras pake uang yang susah payah dicari" Azka berujar. Kali ini nada bicaranya melemah.

"Dan yang paling gue sesalin di sini, BERANINYA LO NGINJEK ARINDA!! ANJING LO!" Azka hampir saja menampar wajah Werin kalau tangannya tak ditahan Regal.

"Cukup, Ka. Jangan gitu. Udah cukup. Lebih baik sekarang kita ke kantor BK." Regal masih saja melerai, berusaha menyurutkan Azka. Sebenarnya ia bingung, karena ia belum menonton videonya sedari tadi. Apa benar Werin sekasar itu.

"Udah udah. Yang ada kalo kita lama-lama di sini bisa nambah masalah baru. Mending kita secepatnya ke kantor BK." Regal merangkul Werin, namun Werin melepasnya dengan paksa.

"Gak perlu" itu suara Arinda yang diikuti tatapan heran Driko di belakangnya. Tadinya mereka akan pergi ke kantin, tapi Arinda malah sibuk nyari Azka sama Regal. Dua orang cowok yang katanya sudah ia anggap abang sendiri.

"Loh kok gitu. Apa-apaan sih lo, Nda!" Driko menarik tangan Arinda, mengajaknya berbicara.

"Apa-apaan gimana, Dri? Ya, gue gak mau masalah sekecil ini jadi besar" Arinda menusuk mata Driko dengan tatapannya.

"Sekecil ini lo bilang? Sekecil ini, Nda? Kalo tadi gue gak dateng nyelamatin lo? Kalau tadi gue nggak nyegah cewe sarap itu?? Mungkin badan lo udah jadi keset buat dia. Bisa jadi kerupuk kulit juga lo diinjek sama dia, Nda! Dan lo masi bisa bilang itu masalah kecil?! Lo gak tau kan perasaan gue yang ngeliat adegan itu secara langsung?!" Emosi Driko meluap bersama perasaannya.

Arinda membeku. Semua orang juga cuma bisa diam mendengarkan Driko. Ada rasa menghangat yang menjalari tubuh Azka ketika mendengar ucapan dan luapan emosi sepupunya itu. Jarang Driko perduli pada seseorang sampai segitunya. Ia tau betul sepupunya itu mulai merasa nyaman dengan sahabat tersayangnya. Ternyata, bukan hanya dia saja yang menyayangi Arinda. Kini, akan ada orang yang juga akan berjuang untuk melindungi Arinda, sahabat yang sudah ia anggap adiknya itu.

Setelah beberapa detik suasana hening.

"Maaf" Arinda menundukkan kepalanya. Menatap ujung sepatunya. Sebenarnya ia tak tau untuk apa dirinya minta maaf. Tapi ketika melihat Driko se-emosi itu, nyalinya sedikit menciut hanya untuk menatap mata pemuda yang berdiri tepat di hadapannya.

Namun perlahan, Arinda mengangkat kepalanya. "Maaf, Driko. Udah bikin lo emosi. Tapi lo liat sendiri kan? Gue nggak apa-apa. Cuman luka ini doang sama ini." Arinda menunjukkan luka di kening dan lututnya. "Itu juga kecil. Gue nggak mau dibilang pengadu. Terkesan lebay banget gue kalo masalah ini dilaporin ke BK. Please, sekali ini ngertiin gue ya." Arinda memberi tatapan sendu pada Driko.

"Terserah lo" Driko langsung meninggalkn rooftop sekolah. Arinda hanya membiarkannya.

Azka menghampiri Arinda, lagi-lagi mengelus pucuk kepalanya. "Lo ngga papa, Rin?"

"Gak papa, Ka. Nanya mulu lo" Arinda terkekeh. Azka juga. Tuh kan, tadi dia semarah itu. Sekarang? Kemana amarahnya? Melihat Arinda tertawa saja, Azka pun malah ikut tertawa.

Tak lama, Werin juga meninggalkan rooftop setelah dari tadi diam mematung menjadi kambing congek.

"Tolong ya. Hargai manusia jomblo ini." Regal yang juga dari tadi diam, akhirnya bersuara. Ia juga heran melihat tingkah Azka juga perubahan emosinya. Tapi dia diam saja. Tak mau ambil pusing.

"Haha sini lo. Ngapain di situ." Ajak Arinda. Regal pun mendekat ke arah Arinda & Azka.

"Kita ke kelas aja atau gimana?" Azka melempar pertanyaan pada kedua temannya sembari berjalan beriringan

"Yeh.. ngapain ke kelas. Kan jamkos. Mending kita ngantin aja gimana?" Regal memberi saran.

"Eh. Boleh tuh. Tapi kita nyari Driko bentar ya" Arinda tiba-tiba mengingat Driko.

"Tipi kiti nyiri Driki bintir yi." Regal me-minyi-minyikan ucapan Arinda. "Driko terus.. suka lo sama sohib gue itu?" Regal menatap Arinda penuh selidik.

"Gue sukanya sama lo" Arinda menjawab santai. Sedangkan Regal sudah diam di tempatnya. Membeku.
"Suka nampol" seketika Arinda langsung menampol pundak Regal sambil tertawa.

"Pffftttt" Azka tak kuasa menahan tawanya. Tadi senyum dan sekarang malah ketawa.

"Inginku berkata kasar" ujar Regal lalu mendahului langkah Arinda & Azka.

"Kasar!!!" Arinda dan Azka kompak berteriak dari belakang Regal.

🐥

Azka emang seaneh itu kalau bersama Arinda.

The Story of Arinda (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang