P.1

164 6 4
                                    

Langit biru cerah memenuhi angkasa sore ini, dedauan yang masih basah akibat hujan siang tadi pun masih tersisa disetiap ranting pohon ditaman. Namun kini langit gelap sudah tergantikan dengan awan biru yang indah.

Seorang wanita sedang duduk seorang diri disalah satu kursi taman sambil menatap kosong ke arah tempat bermain anak - anak. Ia masih memakai seragam serta menggendong tas punggungnya itu.

Berkali kali ia menarik nafas panjangnya, berkali kali pula ia mengelap air matanya yang jatuh membasahi pipi mulusnya itu, berbeda sekali dengan suasana langit yang begitu cerah.

'Buat apa gue hidup kalo gue mikul beban seberat ini?! Apa gak bisa gue hidup normal kaya orang lain? Gue... capek' ucap batinnya pilu. Tak lupa kedua tangannya yang senantiasa mengusap air matanya yang kembali jatuh.

Waktu pun sudah hampir senja namun wanita tersebut masih belum beranjak dari tempat yang didudukinya itu. Ia masih betah duduk disana sambil menatap kosong ke arah taman bermain tersebut.

Langit yang semula cerah perlahan - lahan mengeluarkan warna kelamnya kembali seakan mengerti dengan perasaannya saat ini. Air rintik - rintik hujan pun mulai turun yang semula pelan menjadi deras. Ia masih belum beranjak dari duduknya itu, disaat orang - orang ditaman itu berlarian mencari tempat untuk berteduh namun ia masih saja setia duduk ditempatnya.

"Mbak hujannya deres loh" tegur seorang ibu - ibu yang sedang menggandeng tangan anaknya dan satu tangannya lagi memegang payung.

Namun ia tak menggubris ucapan ibu - ibu tersebut. Ia masih duduk dengan tatapan kosong ke arah taman bermain dengan air hujan yang kini sudah membasahi seluruh tubuhnya. Ia tak perduli jika buku - buku sekolahnya akan basah terkena air hujan.

Ibu - ibu yang berbicara padanya tadi pun menggeleng - gelengkan kepalanya melihat dirinya yang seperti tidak perduli dengan keadaan ditaman ini. Kemudian ibu dan anak itu pun pergi dari hadapannya.

Diam - diam ia menangis tanpa suara, ia menyamarkan air matanya dengan air hujan yang membasahi wajahnya. Kali ini ia tidak mengusap air matanya itu ia membiarkan air matanya jatuh bersama air hujan.

'Ya Tuhan kau boleh mengambil nyawa ku sekarang. Aku tidak ingin hidup lagi Tuhan, semua terasa menyakitkan untuk ku lalui sendirian. Tolong.. biarkan aku bersama dengan mu' teriak batinnya dengan air matanya yang mengalir deras.

Dadanya terasa sesak, ia merasa sudah lelah untuk menangis sekarang. Kemudian ia bangkit dari duduknya itu dan berjalan gontai meninggalkan taman dengan keadaan yang masih hujan deras.

Ia menyusuri jalanan yang sepi akibat keadaan masih hujan deras, perlahan namun pasti akhirnya ia tiba didepan rumahnya. Ia menatap keadaan rumahnya yang hanya terlihat megah dan mewah dari luar namun sungguh sangat amat sepi dan sunyi dari dalam.

"Non Cia, ya ampun non kenapa non hujan hujanan? Bapak bisa menjemput non kalau non menelfon bapak" ucap pak Supardi sang satpam sekaligus supir pribadi keluargnya.

Pak Supardi pun langsung bergegas membuka gerbang besar rumahnya tersebut untuk memberikan akses masuk untuknya. "Terima kasih pak, tapi Cia gak apa apa emang lagi pengen pulang sendiri" jawabnya lemas kemudian ia melangkahkan kakinya masuk kedalam rumahnya tersebut.

Pak Supardi pun hanya menatap iba kepada anak majikannya itu. Biar bagaimana pun ia mengetahui semua apa yang terjadi pada keluarga majikannya ini.

Captain, I Love You!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang