Partner Sex - Part 9

11.2K 281 18
                                    

Helo, PS telah kembali. Dan yeah, setelah part ini akan ada episode terakhir. Hohohoho...

Sebelumnya, ini cerita fiktif belaka, dan bener-bener gada di dunia nyata, asli karangan saya yang imajinasinya udah ngalor ngidul kemana-mana dan diharapkan vote dan komennya, readers!

Happy reading, guys!



***

Denis kini tengah bersiap untuk pergi ke kantor, kami sudah melupakan pertengkaran yang bahkan tidak bisa disebut pertengkaran karena semua sudah sepakat untuk tidak membahas ulang tentang rencana aku pergi merelakan Denis untuk Missa dan kakek tua. Aku sudah membuang jauh-jauh memikiran kolot itu. Mulai sekarang, aku akan hidup bahagia bersama Denis. Menerima semua keputusannya yang aku yakin pasti baik untukku dan untuknya.

“Hanny,” panggil Denis ketika dia tengah bercermin, aku bangkit dari kasur, segera mendekat dan ikut membantu menyimpulkan dasinya.

“Aku ingin mengatakan sesuatu,” katanya terdengar serius, aku menatap matanya yang kini tengah menatapku.

“Apa?”

“Aku ingin menikah denganmu.” Aku mengerjap dan mulutku nyaris terbuka lebar. Apa katanya? Menikah? Aku? Denis? Ha! Serius? Aku mengerjap kembali dan tersadar setelah Denis mengecup kilat bibirku. Aku menjilat pelan bekas ciumannya dan itu terasa manis, kurasa pipiku kini pasti tengah merah merona, Aw! Hanny, kau melupakan sesuatu.

“Kau serius?” tanyaku masih tidak percaya. Denis kembali menatapku dengan tatapan seriusnya dan kali ini aku sepenuhnya percaya. Tapi, aku tidak akan bisa memberikannya keturunan.

“Tapi..” belum selesai aku bicara, Denis dengan lembut menaruh jari telunjuknya tepat di depan bibirku. Dia menggeleng seolah mengatakan, ‘Tidak lagi, Hanny’ dan aku tahu kami sudah membahasnya berulang kali walaupun itu berakhir dengan kesepakatan bersama tentang mengadopsi anak tapi bisa kalian bayangkan seorang wanita cacat sepertiku menikahi pria bagai malaikat sempurna dan aku harus bahagia sepenuhnya walaupun dalam hati aku sering membayangkan hal-hal yang tidak-tidak, pasti kalian tahu bagaimana perasaan kecewaku yang tidak bisa menjadi sempurna di depan orang yang dicintainya.

“Sudah aku katakan, aku mencintaimu apa adanya, Hanny.”

“Aku tidak akan melepaskan dirimu hanya karena kamu tidak sempurna. Sama, aku juga manusia biasa yang tidak sempurna, kau tahu banyak tentang sifatku sebenarnya. Dan sudah berapa kali kukatakan, jangan terlalu mengkhawatirkan itu.” Aku menangis mendengar Denis begitu yakin, dan dia sepenuhnya mencoba membuatku bahagia.

“Bagaimana dengan kakekmu?” tanyaku pelan. Dia kembali menghela nafas, mungkin pertengkaran kami akan dimulai lagi.

“Dengar, aku tidak peduli dengan kakek tua itu. Dan jika kamu ingin kita mendapat persetujuan darinya, Oke. Kita akan segera mendapatkannya, malam ini.” katanya cepat.

“A-apa?”

“Kamu mendengarnya dengan baik, Hanny. Aku ingin segera mengakhiri cerita tragis ini. Aku tidak ingin terlalu lama terkekang dalam sebuah drama. Dan aku ingin kamu setuju denganku.” Aku mengangguk sebagai jawaban, dan kemudian dia mengecup dahiku dengan lembut, aku meresapi hingga tak lama kemudian dia mengecup bibirku singkat.

“Aku pergi,”

_______

Malam menjelang dan Denis belum juga pulang, tadi sore sebelum dia rapat. Dia bilang akan segera pulang seusai makan malam dan aku sungguh cemas. Bukan cemas, tapi gugup setengah mati. Aku akan segera ke rumah kakek Denis sekitar 3 jam lagi dan aku matian-matian untuk selalu berpikir positif. Dan usahaku ternyata sia-sia karena banyak sekali hal menakutkan yang lebih banyak kubayangkan.

Klek.

Pintu apartemen terbuka, aku segera bangkit dan menuju pintu.

“Denis, bukannya kau—“ aku terkejut bukan main, bukan Denis yang datang. Tapi satu-satunya orang yang akan kami temui beberapa jam lagi. Dengan tongkatnya ia berjalan menghampiriku.

Aku meringsut menjauh takut tiba-tiba dia memukulku.

“S-selamat malam, k-kakek.” kataku gugup harus bersikap bagaimana. Cih. Dia mendengus malas dan tanpa permisi masuk ke dalam, dia duduk di sofa sambil memperhatikan sekeliling.

Aku menelan ludah mencoba menghilangkan kegugupanku, aku harap Denis segera datang. Ya Tuhan!

“Tidak usah belaga sopan padaku,” katanya tiba-tiba.

“Aku tahu seperti apa pelacur sepertimu,” katanya menusuk. Apa katanya? Aku mengeram menahan amarah. Sabar Hanny, dia kakek Denis. Satu-satunya keluarganya yang pantas kamu hormati. Atau untuk saat ini.

“Maaf, Denis belum pulang, kakek ingin minum apa?” tanyaku ramah.

“Aku sudah bilang, aku tidak perlu sifat munafikmu. Aku tahu kamu hanya menginginkan kekayaan cucuku. Dan aku bisa memberikannya cuma-cuma asalkan kamu menghilang dari hadapanku dan Denis.” Aku tidak bisa lagi menahan amarahku.

“Maaf, kakek yang terhormat. Aku bukan pelacur. Aku dan Denis saling mencintai, dan aku tidak akan menerima sepeserpun uang Anda. Karena itu tak akan berhasil, walaupun aku harus disiksa sampai mati sekalipun, asalkan Denis di sampingku, aku rela.” Dia bangkit dan menatapku dengan tajam. Tapi perlahan-lahan tatapannya seolah menjadi luka.

“Apa kau tidak puas mengambil cucuku dulu sehingga kau ingin juga mengambil satu-satunya cucuku ini, Hah?” aku mengernyit tak mengerti. Cucuku dulu? Siapa? Seakan tahu arti dari pikiranku, kakek itu menyebutkan nama yang tak pernah kudengar lagi hingga kini.

“Daniel Anggiraya Jayata,”

_________________________________________

02/12/14

Partner Sek*sTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang