21. Usaha Menjauh

701 36 37
                                    

"Untuk sementara waktu, tolong menjauh. Karena sekarang, aku sedang tidak ingin berdusta dengan rindu."

"Dila!!"

Adira melemas, ia terduduk di lantai seraya memegangi dadanya. Adira mencoba menarik napas dalam setelah itu menghembuskannya secara kasar.

"Aku kira kamu beneran mau loncat," ujar Adira setelah melihat kembarannya yang tengah berada dipinggiran balkon.

Adila menoleh, setelah itu menekuk wajahnya sebal. "Yakali gue mau mati konyol. Lagian lo sih, kenapa nggak mau nerima buku gue? Lo tau gak Dir, gue itu jadi ngerasa bersalah banget sama lo," balasnya pelan tak lupa dengan wajah yang menunduk. 

"Aku ... bukannya nggak mau nerima buku kamu. Tapi, aku gak mau nanti kamu diomelin karena buku kamu ada sama aku," jelas Adira.

"Gue gapapa kok, pokoknya lo harus ambil!" paksa Adila seraya mengambil tangan Adira dan menaruh bukunya di sana.

"Tap--"

Kring.. Kring..

"Gue masuk dulu, ponsel gue dah bunyi tuh, keknya ada yang nelpon deh. Dahh!" sarkas Adila cepat setelah itu berlalu meninggalkan Adira. Namun, sebelum benar-benar menghilang, Adila tak lupa mengerlingkan matanya seraya tersenyum tipis.

Melihat tingkah kembarannya, Adira hanya mengernyitkan bingung. Ia menatap buku kimia milik Adila ditangannya seraya menghembuskan napas kasar.

Apa boleh buat? -batinnya.

Adira melangkahkan kakinya pelan, saat ini ia tengah duduk dipinggiran balkon sembari menikmati angin yang berhembus menerpa rambutnya. Adira membuka buku Adila sekilas, niatnya hanya untuk melihat-lihat materi yang telah dipelajari oleh kembarannya. Namun, tepat pada saat ia membuka lembaran kosong terakhir, ada sebuah kertas terlipat dengan tulisan bernama Adira.

Adira termangu. Cukup lama ia menatap lipatan kertas itu, hingga tanpa sadar ia mengambilnya dan membukanya secara perlahan.

Adira.

Lo kenapa sih nggak mau nurutin permintaan gue buat jauhin Arsen? Lo itu jelek, lo harusnya sadar dong kalo Arsen itu nggak pantes buat lo! Apa perlu gue buat lo sadar sama fisik lo itu?

Oke, gue nggak mau jadi jahat. Tapi, ini kali terakhirnya gue liat lo akrab sama Arsen. Kalo sampe sekali lagi, gue nggak bakal segan-segan buat lo menderita. Paham?

-lo seharusnya tau siapa gue-

Usai membaca pesan singkat dan mengerikan itu, Adira langsung cepat-cepat melipat kertas itu seraya menyembunyikannya pada saku bajunya. Ia menarik napas dalam-dalam seraya menghembuskannya kasar.

Saat ini pikiran Adira tengah berkecamuk. Perasaan dan logikanya benar-benar tak bekerja dengan normal sekarang. Apalagi setelah membaca surat yang berasal dari buku Adila itu. Apakah dugaannya benar?

"Mulai sekarang, kamu nggak boleh nyusahin diri sendiri lagi, Adira!" gumamnya sendiri tak lupa dengan penuh penekanan.

"Lupain Arsen!"

ooOoo

"Dira, ayo berangkat!"

Adila meneguk susunya cepat setelah itu langsung mengaitkan tasnya ke pundak. Sekarang sudah pukul 06:45 dan sebentar lagi belajar masuk pasti akan berbunyi. Adila melirik Adira yang tak bergeming, ia terlihat santai memakan makanannya tanpa mengingat sekarang sudah pukul berapa.

"Dira ayo cepetan! Sekarang udah setengah tujuh lewat. Nanti telat," cecar Adila dengan tetap menatap kembarannya.

"Kamu duluan aja, aku masih mau makan," sahut Adira pelan tanpa mengalihkan tatapan pada makanannya.

DILARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang