Pdf bisa order di wa +62 895‑2600‑4971
Untuk ebook bisa di beli di playstore buku.
Bisa juga di baca di kbm app Aqiladyna.
***
Desiran angin terdengar berhembus samar di sore hari yang udaranya sangatlah dingin. Musim telah memasuki penghujan. Ainur berdiri di jendela memperhatikan dedaunan yang jatuh di terpa angin yang semakin kencang dan langit mulai mengelap. Segera menutup pintunya, Ainur terlihat cemas karena suaminya juragan Aksa belum juga balik. Selesai makan siang beliau memang pamit untuk berziarah ke makam mendiang biyung Banuwati.
Ainur keluar dari bilik kamar menuju ruang utama, di sana berjalan mondar mandir menunggu juragan Aksa.
Terdengar deru mobil memasuki perkarangan rumah, Ainur lekas membuka pintu, tersenyum melihat mobil berhenti dan juragan Aksa keluar dari dalamnya. Buru buru beliau berjalan cepat saat di iringi hujan yang mulai turun dari langit.
Juragan Aksa telah sampai di teras, menyapu basah di pakaian yang terkena percikan air hujan.
"Baru balik, Ainur sangat mencemaskan kang mas?" Sambut Ainur menghampiri.
"Maaf membuatmu cemas, setelah dari makam, kang mas berkunjung ke rumah besar bertemu dengan Elang, ada beberapa hal yang kang mas bahas dengan Elang tentang perkebunan."
Ainur melempar pandangan pada hujan yang semakin deras dan angin berhembus kencang. Ia mengidik merasakan hawa dingin yang menyeruak.
"Sebaiknya kita masuk kang mas." Ajak Ainur merangkul lengan Juragan Aksa dan melangkah bersama masuk ke dalam rumah.
Segelas teh di hidangkan di atas meja, juragan Aksa telah selesai mandi dan berpakaian duduk santai menghadap meja di temani sebuah buku yang selalu beliau baca di saat tidak beraktifitas di rumah.
"Rumah terlihat sepi dimana bulik Sumi dan Estu?" Tanya juragan Aksa menyesap teh yang di bikinkan Ainur.
"Bulik Sumi ada di bilik kamarnya kang mas. Beliau ndhak enak badan sejak pagi, dan Estu baru saja pergi mengambil susu segar di kampung sebelah."
"Sudah panggil mantri untuk periksa bulik?"
"Sudah kang mas. Kata mantri beliau kelelahan jadi Ainur minta bulik untuk istirahat beberapa hari."
"Apa kamu butuh abdi lagi membantu di rumah, biar suasana juga ndak sepi." Kata Juragan Aksa menawarkan.
Ainur terdiam, ucapan juragan menyentil hatinya. Memang sepi tidak seperti dulu juragan Aksa dan dirinya tak pernah kesepian, karena ada mbak Dian dan mbak Tari serta putra putri beliau yang Ainur juga ikut mengasuh. Ainur rindu dengan masa masa itu. Tawa kebahagiaan selalu terpancar di keluarga ini.
"Kenapa diam ndhuk, ada sesuatu kamu pikirkan lagi?" Tanya juragan Aksa membuyarkan lamunan Ainur.
Ya__ada sesuatu mengganjal di hati Ainur. Rasa ingin tahu dengan apa di rasakan juragan Aksa saat ini, apa beliau masih bersedih seperti Ainur rasakan yang tak pernah Ainur bisa hapus. Namun mulut Ainur terkunci rapat. Ia tak ingin bertanya dan membahas hanya membuat luka di hati suaminya. Cukup Ainur memendam rasa bersalah ini dan berusaha memperbaiki menjadi istri yang berbakti pada suaminya.
"Ndhak perlu kang mas. Ainur bisa sendiri kalau bulik Sumi sakit. Ainur juga bosan kalau hanya berdiam diri."
Juragan Aksa menghela nafasnya menatap Ainur seksama.
"Para warga mencarimu saat bertegur sapa denganku. Mereka mungkin rindu kamu berkumpul, membuka rumah ketrampilan lagi." Kata Juragan Aksa membuat Ainur membeku.
Ainur mengerutkan keningnya. Ia memang tak pernah keluar rumah bercengkrama dengan para warga sejak musibah menimpa. Pernah sekali saat Ainur pergi ke rumah yayasan ketrampilan yang sudah lama di tutup. Rencananya Ainur ingin membuka kembali namun ia tidak sengaja mendengar beberapa warga berbincang. Para warga tidak menyadari kehadirannya dengan leluasa mengatakan hal buruk tentang dirinya.
Sejak kejadian itu Ainur tak pernah keluar rumah lagi, memilih berdiam diri, bukan dia dendam dengan para warga. Apa yang di katakan mereka memang benar, musibah itu terjadi karena Ainur. Ia hanya tak sanggup mendengar lagi mengusik hatinya yang semakin sakit.
Jurangan Aksa menatap lekat wajah Ainur yang muram, sangat memahami Ainur memang belum siap untuk berbaur dengan para warga. Juragan Aksa tak pernah memaksa istrinya untuk melakukan apa yang tidak ingin di lakukan. Tapi melihat semakin hari membuat Ainur anti sosial mencemaskan juragan Aksa. Padahal juragan Aksa berharap senyum Ainur yang dulu kembali lagi. Karena Ainur sebenarnya perempuan yang ceria.
"Kemarilah." Juragan Aksa buka suara karena Ainur hanya diam. Mengangkat wajahnya tatapan Ainur dan Aksa beradu.
Ainur menurut, mendekati suaminya, duduk di samping Aksa yang menarik pinggangnya membuat Ainur memekik. Kini Ainur duduk di pangkuan Aksa, jarak wajahnya sangat dekat dengan wajah Aksa. Wajah Ainur seketika memerah melepaskan kontak matanya.
"Aku ingin kamu tersenyum," Bisik Aksa memperhatikan Ainur yang terlihat gugup.
"Tatap aku dan tersenyumlah." Titah jurangan Aksa.
Ainur mengangkat wajahnya, memaksa menyunggingkan senyumnya yang memperlihatkan barisan giginya yang rapi.
"Oh, senyum macam apa itu." Gerutu juragan Aksa mengerut.
"Ainur sekarang sudah tersenyum toh." Kata Ainur masih memaksakan diri.
"Elek." Kata juragan Aksa.
Senyum Ainur pudar karena juragan Aksa mengatainya jelek.
"Senyum terpaksa seperti itu sangat elek. Aku ingin senyummu tanpa pamrih."
"Mungkin Ainur akan tersenyum lepas bila Sang Kuasa menghadirkan kehidupan dalam perut Ainur lagi." Lirih Ainur bisa di dengar juragan Aksa.
"Aku akan berusaha mewujudkanya. Ayo kita lakukan terus menerus, biar kamu bisa hamil lagi seperti kamu inginkan dan aku bisa melihat senyummu lagi." Kata juragan Aksa.
"Kang mas maksud Ainur."
"Ndak masalah bagiku ndak punya keturunan tapi aku ndak bisa bila ndak melihat senyummu lagi. Maka kita lakukan." Bisik juragan Aksa menyapu bibir Ainur dengan ibu jarinya lalu menggantinya dengan bibirnya.
Mereka saling berciuman, lidah juragan Aksa menyelusup ke celah bibir Ainur, menghisap dan mengaitkannya. Saliva mereka menyatu. Ainur terasa sesak nafas saat juragan Aksa tidak menyudahi ciumannya.
"Kang mas...ahh.." Desah Ainur saat ciuman terlepas. Bibir juragan Aksa meninggalkan bibirnya kini menyesapi lehernya meninggalkan jejak warna merah di sana.
"Kulo nuwun Juragan, saya membawa surat dari juragan Harsa Gintari Pranaja." Suara Estu terdengar di luar hanya terpisah di balik tirai pintu. Jurangan Aksa berhenti menyentuh Ainur, beliau terlihat kecewa.
"Kita tunda dulu kang mas nanti malam." Bisik Ainur menjauh dari pangkuan juragan Aksa dan duduk di posisinya semula.
"Masuklah Estu."
Tirai tersibak, Estu masuk menyapa hormat lalu duduk bersimpuh menyerahkan gulungan kertas pada juragan Aksa.
"Surat apa ini?" Tanya juragan Aksa mengambil gulungan kertas dari Estu.
"Surat undangan Juragan."
Juragan Aksa membuka kertas gulungan dan membacanya. Ainur hanya mendelik penasaran.
"Juragan Harsa meminta untuk kerja sama, aku kurang tahu siapa beliau." Kata juragan Aksa.
"Beliau juragan kaya raya pemilik tanah hampir di seluruh wilayah. Ini adalah kerja sama bagus untuk juragan."
Juragan Aksa terlihat berpikir menoleh pada Ainur yang mengangguk samar.
"Aku akan mempertimbangkannya dan perlu membicarakannya dengan Elang." Kata juragan Aksa mengulung surat undangan kembali.
Tamat