* * *
Aku menutup telingaku dengan bantal guling. Suara sialan itu sungguh mengganggu tidur nyenyakku. Tanganku terulur meraba nakas dan mangambil jam sialan itu. Sudah pukul lima lewat tiga puluh. Aku segera bangkit dari posisiku. Aku harus segera bersiap dan memasak sarapan untukku dan Kak Nathan. Dengan langkah gontai khas orang bangun tidur, aku memasuki kamar mandi.
Setelah mandi dan rapi dengan seragam sekolahku, aku menuju dapur untuk memasak sarapan. Saat sampai di dapur sudah terdapat Kak Nathan dengan dua piring nasi goreng yang sudah tersedia di meja makan.
"Morning, Kak!" Aku mencium pipi Kak Nathan lalu duduk di sampingnya.
"Morning."
Aku tak memakan nasi gorengku, memasukkannya ke dalam kotak bekal. Jika tidak bawa bekal makanan untuk Alvaro lagi, aku takut hari ini dia lebih menyebalkan dari kemarin. Aku memasukkan kotak bekal ke dalam tas. Perhatianku beralih pada Kak Nathan, wajahnya nampak gusar. Tanganku terulur mengusap lengannya. "Kenapa, Kak?"
Kak Nathan menatapku. "Suka kepikiran Ibu gak, sih?"
Aku tersenyum samar. "Selalu."
"Semalam Kakak terjaga karena mimpiin Ibu," Kak Nathan menghela napas kasar. "Di mimpi Kakak; Ibu bilang bahwa Ibu sedih tinggal di sana karena gak ketemu kita dan katanya Ibu capek tinggal di sana. Kakak jadi berpikir bagaimana kalau Ibu kita rawat di rumah saja?"
"Jika Ibu di rumah, siapa yang akan rawat Ibu?"
"Kakak juga gak tahu, sayang. Sepertinya kita harus sering-sering ke tempat Ibu."
"Pulang sekolah aku ke sana."
Baru Kak Nathan hendak membuka suara, terdengar suara klakson bertubi-tubi dari luar rumah.
Aku dan Kak Nathan tahu siapa pelakunya. "Sana berangkat, konser mulu, tuh, anak." ucap Kak Nathan menutupi telinganya.
"Aku berangkat ya, Kak." Aku berlalu keluar rumah. "Kakak jangan lupa ngampus!" teriakku dari depan rumah.
"Iya!" balasnya dengan teriakkan.
"Kayak di hutan lo pada," ucap Edward.
"Terus lo yang bunyiin klakson mulu itu disebut apa?"
Edward tertawa. "Kemarin lo pulang sama siapa?"
"Tukang ojek." jawabku asal.
"Oh. Ayo, gue tinggal lo," Edward mulai menstarter motornya.
Dengan segera aku menaiki motor Edward. Edward melajukan motornya menuju sekolahku. Kadang aku berangkat sekolah diantar Edward, kadang Kak Nathan, dan kadang Bryan. Sesekali juga aku berangkat sekolah dengan Albert. Tetapi aku lebih sering diantar Edward, karena kadang Kak Nathan mata kuliahnya tidak tetap, dan karena kadang Bryan berangkat sekolah dengan pacarnya.
Motor Edward berhenti tepat di depan gerbang sekolahku. "Nanti pulang sekolah antar gue ke tempat Ibu, ya." ucapku setelah turun dari motornya.
"Siap siaga, Komandan."
"Sana, anak STM waktunya PKL."
Edward tertawa. "Dadah."
Saat sampai di kelas sudah terdapat beberapa siswa yang datang. Pria itu sudah duduk manis di tempat duduknya-tempat dudukku yang yang kini menjadi tempat duduknya juga. Aku duduk di sampingnya. Menyerahkan bekal makanannya tanpa bicara apa pun.
"Makasih." Alvaro tersenyum, mulai membuka kotak bekal dan memakan nasi goreng buatan Kak Nathan yang seharusnya jadi sarapanku pagi ini.
"Hari ini gue gak bisa ikut tutor Ekonomi." ucapku.
"Di hari pertama udah absen. Laporan yang cukup buruk untuk disampaikan ke Pak Johan." Dia masih asyik memakan nasi gorengnya, bicara tanpa menatapku.
"Gue mau ke tempat Ibu gue."
Dia menatapku sejenak, lalu kembali melanjutkan makannya. "Soal Ibu, ya? Gue gak bisa ngelarang kalau gitu. Iya, gue izinin."
Aku tersenyum. "Makasih, ya."
* * *
Motor Edward berhenti di parkiran. Kini kami telah sampai di tempat Ibu.
Selama lima tahun terakhir Ibu tinggal di rumah sakit jiwa. Ya, Ibuku mengalami gangguan jiwa sejak aku duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama. Ibu menjadi seperti itu karena Ayah. Ayah selingkuh dengan sekretarisnya-Lauren, wanita itu hamil dan meminta pertanggung jawaban Ayah. Ibu sangat hancur saat mengetahui semuanya. Ibu selalu mengurung diri di kamar, tatapannya selalu kosong dan pikirannya tak tentu arah.
Saat Ayah menikah dengan Lauren, Ibu melakukan percobaan bunuh diri. Kala itu aku sedang mengerjakan PR di kamar, selama mengerjakan PR perasaanku tidak tenang. Aku menuju kamar Ibu dan mendapatkan Ibu sedang menyayat tangannya dengan sebilah pisau. Aku segera menghentikan perbuatan Ibu, syukurlah aku tidak terlambat. Aku tak tahu jika kala itu aku tidak ke kamar Ibu dan juga menghentikan percobaan bunuh dirinya, mungkin kini aku tidak akan bisa melihat Ibu.
Semenjak kejadian itu, dokter bilang bahwa kejiwaan Ibu terganggu. Dan akhirnya Ibu harus masuk rumah sakit jiwa. Aku dan Kak Nathan hanya tinggal berdua di rumah. Ayah bahkan tidak memedulikan kehidupanku dan Kak Nathan setelah Ibu masuk rumah sakit jiwa. Ayah lebih memilih bersenang-senang dengan wanita jalang itu.
Hidupku dan Kak Nathan bergantung pada hasil kerja Kak Nathan dan separuhnya ditanggung oleh Om James dan Tante Chintya yang merupakan orang tua dari Edward dan Bryan.
Ibu sangat mencintai Ayah, tetapi apa yang Ayah berikan pada Ibu? Hanya luka dan penderitaan di sisa hidupnya. Aku benci Ayah.
Aku menghela napas, memberanikan diri memasuki ruangan Ibu. Tentu saja dengan Edward di sampingku. Ibu sedang duduk di atas ranjangnya, dia menatap lurus ke arah jendela. Aku menghampiri Ibu dan duduk di sampingnya.
"Ibu," Aku memeluk Ibu erat. Aku tahu seerat apa pun aku memeluknya, dia tidak akan membalasnya. Aku melepaskan pelukan dan menggenggam tangan Ibu. "Ibu udah makan?" tanyaku.
Ibu menghadap ke arahku, tatapannya begitu kosong. Ibu tertawa. "Makan? Apa itu makan? Hahaha."
"Mira!" Ibu menjerit. "Miracle Shine, anakku." Ibu menangkup kedua pipiku. "Ayah jahat Mira, Mira tahu gak? Ayah jahat. Mira anak Ibu, bukan anak Ayah."
"Iya, Bu. Mira anak Ibu."
Ibu menunduk. "Ayah menikah lagi?"
"Ibu, Ibu gak usah mikirin Ayah lagi, ya."
"Wilson! Hahaha... Aku cinta Wilson." Ibu meracau.
"Ibu, Ibu diam, ya. Ibu tenang."
Ibu hanya mengangguk patuh. Tatapannya begitu kosong. Seakan raganya ada di sampingku sedangkan jiwanya entah kemana. Aku rindu Ibu yang dulu.
"Mira kuat, Bu. Ibu yang mengajarkan Mira untuk jadi gadis yang kuat. Tapi sekuat-kuatnya Mira, Mira juga butuh kasih sayang Ibu, butuh pelukan Ibu." Aku tak kuasa menahan tangisku. Aku memeluk Ibu erat-erat.
Aku rindu Ibu, rindu kasih sayang Ibu. Kadang aku iri dengan orang lain yang memiliki keluarga yang bisa disebut harmonis. Sedangkan aku? Ayahku menikah lagi dan Ibuku sakit jiwa. Hanya Kak Nathan lah kekuatanku satu-satunya.
* * *
KAMU SEDANG MEMBACA
Story About Miracle [ON GOING]
Teen FictionAku yakin, Tuhan tak pernah menghadirkan seseorang dalam hidupku hanya karena kebetulan. Seperti menghadirkan dirimu. Kau mengajarkanku banyak hal; cinta, hidup, mimpi, bahkan takdir. Terima kasih untuk kisah cinta yang begitu menakjubkan. Aku tak p...