* * *
Jatuh cinta selalu menjadi masalah bagiku. Max, Marco, Albert, dan Alvaro. Sudah empat kali aku jatuh cinta. Jatuh cinta pada Max begitu indah, jatuh cinta pada Marco begitu rumit, jatuh cinta pada Albert begitu menyenangkan, dan jatuh cinta pada Alvaro begitu memabukkan.
Albert dan Alvaro, kedua pria yang memiliki wajah, suara, dan postur tubuh yang sama. Namun aku merasakan sensasi jatuh cinta yang berbeda. Aku merasakan senang, takut, dan benci pada saat yang bersamaan. Aku senang karena hadirnya Alvaro dapat menghapus seluruh rasaku pada Marco, sedangkan hadirnya Albert hanya dapat menghapus separuhnya. Aku takut jatuh cinta pada Alvaro karena Alvaro adalah kembarannya Albert, Albert pasti akan hancur saat mengetahui semua kebenarannya. Dan aku benci, benci karena aku jatuh cinta pada pria menyebalkan itu. Benar kata Michelle, mudah bagiku untuk berpindah hati dari Albert ke Alvaro. Kini aku tak dapat lagi menyangkal perkataan Michelle.
Aku menatap jenuh sekelilingku. Kini manusia telah dibutakan oleh teknologi yang semakin canggih, ponsel contohnya. Saat ini kelasku sedang tidak ada guru yang mengajar. Jumlah seluruh siswa di kelasku ada tiga puluh enam orang, lima orang tertidur, tiga orang membaca buku, satu orang hanya diam saja yaitu aku, dan sisanya sibuk dan hanyut pada layar ponsel di hadapannya. Ponsel tidak terlalu penting bagiku dan cukup membosankan. Menurutku, lebih seru interaksi offline daripada interaksi online.
Sedari tadi aku ingin sekali pergi ke kantin, tetapi pria di sampingku ini melarangku. Katanya aku tak boleh sering-sering keluar kelas. Tak hanya itu, dia juga menasehatiku untuk menahan emosi agar aku tidak memukuli anak orang lagi. Alvaro menjadi seperti ini karena Kak Nathan. Ya, Kak Nathan memberikan amanah pada Alvaro ataupun Albert untuk menjaga dan mengawasiku selama di sekolah.
"Bete!" keluhku pada Alvaro.
Alvaro melirikku sekilas, lalu kembali fokus pada layar ponselnya. "Emangnya lo gak ada kuota? Main sosmed aja di HP lo."
Aku memutar bola mata. "Hidup gue bukan cuma tentang sosmed dan gadget."
Alvaro menaruh ponselnya di saku. "Main Truth or Dare, yuk!" serunya.
"Berdua doang?"
"Ajak yang lain."
Aku segera mengajak Albert cs, Claudia, dan Jessica. Melihat kami yang bersiap untuk bermain Truth or Dare, Ricky, Nick, dan Andrew pun bergabung. Bagus. Lebih banyak, lebih mengasyikkan.
Permainan dimulai. Ujung pulpen yang diputar berhenti dan menunjuk ke arah Alan. "Truth." kata Alan.
"Tolong konfirmasi mengenai status lajang Anda. Apakah Anda gay?" tanya Stefan.
"Kampret lo, Stef! Kan, lo tahu sendiri gue udah punya cewek. Ngapa bilang gue gay?!" ucap Alan tak terima.
Kami tertawa.
"Serius, Lan? Siapa emang?" tanya Andrew.
"Namanya Emelly. Dia anak SMK Bakti, jurusan tata boga, calon chef!" jawab Alan membanggakan gadisnya.
Alan memutar pulpen dan ujung pulpen menunjuk ke arah Nick. "Truth, gue kembarannya Nick Jonas, kok."
Nick mendapatkan sorakan dari kami.
"Sering masturbasi?" tanya Alan.
Nick menyeringai. "Always."
"Pakai foto siapa?" tanya Albert.
"Kylie Jenner."
"Ah, udah punya anak, gak seru. Bebe Rexha, dong!" sahut Ricky.
"Skip. Otak lo pada gua sapu, ya!" ketusku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Story About Miracle [ON GOING]
Teen FictionAku yakin, Tuhan tak pernah menghadirkan seseorang dalam hidupku hanya karena kebetulan. Seperti menghadirkan dirimu. Kau mengajarkanku banyak hal; cinta, hidup, mimpi, bahkan takdir. Terima kasih untuk kisah cinta yang begitu menakjubkan. Aku tak p...