Is This The Hell?

107 15 15
                                    

* * *

Hela napas dan tatapan jenuh tetap terpatri menggambarkan bagaimana ekspresiku. Dari jarak sekitar tiga meter aku memerhatikan kerumunan siswa itu. Ya, di hari pertama sekolah ini mereka mengerubungi mading untuk melihat daftar kelas baru mereka. Aku bisa saja bergabung dengan mereka, namun aku benci berdesak-desakan seperti itu. Jadi, aku meminta Albert cs melihat daftar kelas baruku.

Tak lama kemudian Albert cs berjalan menghampiriku. Mereka terlihat sumringah dan sedikit cemas, aku sampai bingung bagaimana membaca ekspresi wajah mereka. "Gimana?" tanyaku.

"Ada kabar baik dan kabar buruk. Mau yang mana dulu?" ujar Alan.

"Baik."

"Kabar baiknya kita semua sekelas lagi." ucap Stefan. Aku terperangah, kurasa ada yang salah dengan Tata Usaha. Mengapa mereka menyatukan kami lagi? Kami sudah sekelas dari kelas sepuluh. Apa mungkin ini takdir?

"Kabar buruknya, Hans juga sekelas sama kita." sambung Mike.

Aku berdecak. "Gue mau protes ke TU! Gue mau pindah kelas!" sungutku.

Albert menahan tanganku. "Yakin mau pindah kelas?"

"Iya! Gue yakin!"

Albert mendekat, seperti ingin membisikkan sesuatu. "Al juga sekelas sama kita."

Aku menghela napas kasar. "Ayo ke kelas! Tempati bangku paling belakang." Aku menarik tangan Albert.

Aku dan Albert cs memasuki kelas dua belas IPS 4 yang berada di lantai dua dekat kamar mandi siswa. Oh sial, mengapa mereka tidak memberitahuku bahwa Rainly juga ada di kelas kami?! Aku dan Albert memilih tempat duduk paling belakang di barisan dekat pintu. Serong tempat duduk kami adalah tempat duduk Alvaro dan Rainly. Setahun terakihr berada di kelas ini benar-benar akan seperti di neraka, pikirku.

Albert menaruh tasnya di meja. "Ingat, lo udah punya pacar."

"Iya, Sam." gumamku.

Albert benar. Aku dan Kenneth memang sudah resmi jadian sepulang aku dari libur panjang. Jika dihitung hubunganku dengan Kenneth belum ada seminggu. Memang benar, aku ini harusnya sadar, bahwa aku sudah menjadi milik Kenneth dan aku tak pantas cemburu melihat Alvaro dan Rainly. Memang sangat tak pantas dan tak memiliki hak.

Aku telah memikirkan besar kemungkinan yang akan terjadi jika hatiku masih saja menginginkan Alvaro, hilangnya kepercayaan Kenneth dan hatinya pasti akan terluka. Aku akan membenci diriku sendiri jika hal itu terjadi. Apakah aku menjadikan Kenneth hanya sebagai pelampiasanku sesaat? Tidak boleh seperti ini. Apakah aku harus memutuskan Kenneth agar semua ini tidak berjalan terlalu jauh dan tidak terlalu menyakitkan?

Suara jentikan jari membuyarkan lamunanku. "Lo masih bingung sama perasaan lo sendiri?" tanya Albert.

Aku hanya mengangguk. "Apa gue harus akhiri semua ini sebelum terlalu jauh?"

"Kenapa harus mengakhiri sesuatu yang baru saja dimulai?"

"Karena gue tahu ini gak akan baik akhirnya."

Albert menggeleng-gelengkan kepalanya. "Harusnya lo mikir panjang dulu sebelum ambil keputusan, lo terlalu gegabah, Mir."

Aku terdiam. Tak dapat menyangkal apa yang dikatakan Albert.

Kututup telingaku mendengar suara kaca jendela yang diketuk-ketuk asal dengan penggaris besi. Suara itu sungguh memekakkan telinga. Tempat dudukku sekarang begitu dekat dengan jendela. Aku berdiri, ingin melihat siapa pelaku itu. Rupanya Michelle, Alicia dan Caroline.

"Ayo, Mir!" seru Michelle.

"Kemana?"

"Kantin." ucap Alicia.

Story About Miracle [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang