Ignored

90 16 6
                                    

* * *

Wajah khawatir Kak Nathan yang kulihat pertama kali saat aku membuka mata. Aku tak tahu saat ini aku berada di rumah sakit mana dan berapa lama aku tak sadarkan diri. Aku ingat betul kepalaku dihantam dengan botol bir. Sungguh keparat orang itu, kepalaku sakit sekali. Bajuku telah berganti dengan baju pasien, kepala yang dililit perban dan infus yang tertancam di tangan kananku. Persis seperti pasien rumah sakit.

Kak Nathan mencium tanganku. Tersenyum. Aku tahu dia habis menangis. Wajahnya sendu dan begitu merah. "Akhirnya kamu sadar, sayang."

"Sekarang jam berapa, Kak?"

"Jam tujuh malam, lima jam kamu gak sadarkan diri."

Aku mengangguk pelan.

"Kenneth lagi keluar beli makanan. Teman-teman kamu baru aja pulang." Kak Nathan menatapku penuh kasih. "Albert udah cerita semuanya. Bu Jennifer tahu tentang kabar ini dari salah satu murid yang melihat perkelahian kalian. Kamu, Albert dan yang lain diskorsing selama seminggu."

"Aku gak salah, Kak! Pria itu yang mulai duluan!"

"Dik, sekarang Kakak tanya, cabut sekolah apakah itu tindakan terpuji?"

Aku terdiam.

"Kakak ngerti, remaja seusia kamu memang sulit mengendalikan emosi. Kakak akui dulu saat seusia kamu juga sering berantem dengan teman sekelas. Tapi Dik, kamu harus berubah. Kamu gadis, gak pantas jadi jagoan. Ditambah sekarang kamu udah kelas dua belas, mau lulus, jangan bikin masalah mulu, Dik."

Aku termenung. Jika Kak Nathan memanggilku dengan sebutan 'Dik' itu artinya dia benar-benar marah padaku. "Maaf, Kak. Aku selalu buat Kakak repot." Aku menunduk, enggan menatapnya.

"Pria yang pukul kepala kamu dengan botol bir dikeluarkan dari sekolahnya. Orang tuanya bertanggung jawab penuh atas pengobatan kamu. Kakak harap kejadian seperti ini gak terulang, ini sudah cukup menjadi pelajaran untuk kamu."

"Kak, aku minta maaf!"

Kak Nathan tersenyum. "Iya, sayang." Dia memelukku.

"Aku juga mau dipeluk, dong!"

Aku melepaskan pelukan. Kenneth baru saja datang dengan kantung plastik di tangan kanannya. Dia berjalan menghampiriku. Duduk di pinggir ranjangku. "Syukurlah kamu sudah sadar." Dia mengelus pipiku.

Kak Nathan berdeham. "Kakak makan dulu, ya." Dia berlalu keluar ruang rawatku dengan seringai khasnya.

Kenneth duduk di kursi yang diduduki Kak Nathan tadi. "Aku siapa?"

"Aku gak amnesia, astaga!"

"Terima kasih, Tuhan... Luka kamu cukup parah, tahu!"

"Bocor doang, kan?"

"Doang? Ini kepala, lho sayang, bukan plafon rumah!"

Aku terkekeh. "Maaf, ya, udah buat kalian semua khawatir."

Kenneth tersenyum. "Cepat sembuh, sayang."

Kami beradu pandang cukup lama. Aku masih tak percaya pria asing yang beberapa bulan lalu menghampiriku ke rooftop itu menjadi kekasihku. Saat itu mungkin dengan berbekal sedikit ambisi, dia berterus terang tentang perasaannya padaku. Memberiku buku tutorial cara mencintainya dengan baik.

"Tadi aku khawatir banget, kata dokter kamu kehilangan banyak darah dan diberi beberapa jahitan di kepalamu. Ditambah kamu gak sadarkan diri berjam-jam. Jangan gini lagi, ya, banyak yang peduli dan khawatir sama kamu."

Aku tersenyum. "Makasih banyak untuk kalian yang selalu peduli denganku."

"Oh iya, kata dokter juga kamu perlu rawat inap selama beberapa hari. Kemungkinan aku akan langsung kesini sepulang dari kampus." Tangannya terulur mengambil sesuatu di lemari kecil samping ranjangku. "Ini HP kamu, layarnya cuma lecet sedikit aja." Dia menyerahkan ponselku.

Aku menerimanya. "Aku kesal kalau ingat kejadian tadi!"

"Memang kejadian sebenarnya kayak gimana, sih? Aku tadi tanya Albert dia gak tahu apa-apa, cuma bilang tiba-tiba kamu adu mulut sama cowok itu."

Aku pun menceritakan kejadian tadi siang pada Kenneth dengan penuh kekesalan. Dia hanya menyimak apa yang kuceritakan dan sesekali mengerutkan dahinya. Kenneth berdeham. "Saat itu kamu balas pesan dari siapa?"

* * *

Sudah tiga hari aku berada di tempat sialan ini. Dokter bilang hari ini juga aku sudah diizinkan pulang ke rumah. Selama tiga hari banyak teman sekolahku yang berkunjung, tetangga, dan juga guru-guru. Satu orang yang tak menampakkan wajahnya selama tiga hari ini, yaitu Alvaro.

Aku berusaha keras menghilangkan segala pikiran tentangnya, namun nyatanya tak semudah yang kukira. Tentu aku ingin orang yang kucinta ada di sisiku saat keadaanku yang begitu kacau ini. Baik, kini pakai sajalah logikatak perlu hati, seharusnya Alvaro menjenguk teman sekelasnya yang bernama Miracle, karena kepalanya dihantam dengan botol bir tiga hari lalu.

Kenneth, Albert, dan Kak Nathan yang menjagaku selama dirawat. Albert berulang kali meminta maaf padaku, dia merasa bersalah karena saat itu dialah yang mengajakku untuk cabut sekolah. Padahal ini semua adalah salah pria gila yang menabrakku itu. Jika saat itu dia langsung meminta maaf padaku dengan cara yang baik, aku tak mungkin tersulut emosi hingga melancarkan serangan terlebih dahulu. Mungkin aku yang salah, karena selalu berpikir bahwa permasalahan harus diselesaikan dengan adu pukulan.

Bagiku dirawat di rumah sakit bukan hal yang aneh, tulang hastaku pernah patah karena berkelahi. Rasa sakit adalah makanan yang tiap hari harus kutelan. Aku bukan gadis yang lemah, rasa sakit seperti ini adalah hal yang biasa.

"Bunda udah nungguin kamu di rumah." ucap Kak Nathan seraya merapikan beberapa pakaianku ke dalam tas.

"Untuk apa?"

"Bunda yang akan masak di rumah selama kamu masih dalam masa penyembuhan."

"Lah? Terus yang masak di rumah Ed siapa? Masa iya Ed?"

"Ya tetap Bunda, lagian Bunda juga gak nginap di rumah kita, cuma masak aja untuk kita."

Aku menghela napas pelan, lagi-lagi aku harus merepotkan orang lain. Walaupun Tante Chintya adalah sahabat baik Ibu, aku juga merasa tak enak hati juga terus saja bergantung padanya. Kenneth menggendongku dari ranjang ke kursi roda. "Kamu itu gak boleh capek."

"Heh! Aku ini bukan anak manja, tahu!" ketusku.

Kak Nathan membawa tas berisi bajuku meninggalkan ruang rawat ini, Kenneth mendorong kursi rodaku dan menyeimbangi langkah Kak Nathan. "Kamu manja sama Kakak!" balas Kak Nathan.

"Emang gak boleh?"

Kami menyusuri koridor, melewati beberapa ruang rawat. Kami sampai di parkiran, Kenneth menggendongku memasuki mobil. Percayalah, kakiku masih berfungsi. Kak Nathan memasuki mobil setelah mengembalikan kursi roda, lalu melajukan mobil meninggalkan rumah sakit.

"Kenapa aku diskors seminggu, sih? Albert cs cuma tiga hari." keluhku.

"Kamu dikasih waktu untuk istirahat, kan, lagi sakit." ucap Kenneth.

"Dulu waktu tangan kamu patah malah mau libur sebulan, sekarang kepala bocor tiga hari udah mau masuk sekolah aja, gimana sih?" sahut Kak Nathan.

"Bedalah, Kak. Kalau tangan untuk nulis, kepala enggak."

"Kepala kamu juga dipakai untuk mikir saat dikasih tugas atau ulangan."

"Itu, sih, tinggal minta jawaban dari kutu buku di kelas."

Kennethterkekeh. "Kamu ini!" 

* * *

Alvaro changed ih:(

Story About Miracle [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang