-; Nonstalgia

51 5 2
                                    


"Bawa aku keluar dari lingkaran hampa, dimana raga menolak untuk bernostalgia."

Hujan malam itu tak menentu. Terkadang gerimis, kemudian deras kembali. Gadis cantik itu duduk di bangku balkon kamarnya. Bagian yang tidak terkena hujan, meskipun begitu tetapi tetap saja dingin nya tetap terasa.

Memperhatikan tiap rintikan hujan dengan sesekali menyesap coklat hangat yang di buatnya tadi. Dalam pikiran nya memuat berbagai ingatan. Perihal dirinya yang harus mengambil keputusan. Tetapi besok? Apakah tidak terlalu cepat?

Gadis itu berdiri dan melangkahkan kakinya menuju lantai bawah, tempat favoritnya di rumah ini. Ruangan bernuansa soft brown lengkap dengan fasilitas yang nyaman.

Ruangan itu ada sejak Zevanya menginjak kelas tujuh SMP. Dia menabung dan merengek untuk bisa membeli barang-barang ini. Di dalam sana terdapat grand piano putih bersih yang tampak terawat meski usianya sudah belasan tahun. Kemudian rak buku yang berwarna lebih gelap dari dinding ruangan. Serta buku-buku yang berjejer rapi di setiap sekatnya.

Benar-benar nyaman.

Ruangan itu hanya Zevanya yang memiliki kuncinya. Hanya dia seorang. Gadis itu menutup kembali pintunya. Melirik jendela yang memperlihatkan gemercik air hujan.

Ini adalah moment favoritnya. Zevanya duduk di kursi piano, kemudian dibukanya penutup tuts piano dengan hati-hati.

Perlahan, jemari lentik gadis berdarah Perancis itu menari lembut di atas tuts yang tertekan seirama dengan nada yang timbul.

Zevanya tengah mengalunkan nada River Flows in You.

Seiring dengan nada-nada itu, gadis bersurai hitam kecoklatan itu memejamkan matanya.

Memori ingatan nya kembali lagi..

"Ibu aku suka suara itu.. itu namanya apa?" Ujar gadis kecil saat di festival dekat alun-alun.

"Itu namanya piano, sayang."

"Zeva mau main itu juga buu,"rengeknya.

Sang ibu nampak pusing melihat anaknya merengek tanpa ampun untuk bermain piano. Padahal jari nya saja tidak lebih besar dari sebuah tuts piano.

Sampai akhirnya, ibu Anita membawa Zevanya ke sebuah les piano. "Bu, saya mohon, anak saya merengek untuk bermain piano. Saya yakin anak saya tidak akan berbuat rusuh."

"Maaf Bu, tapi di sini kami hanya menerima anak yang berusia lima tahun ke atas." Jawab wanita muda itu.

"Anak saya tahun depan cukup untuk sampai usia itu bu. Saya mohon.." pinta sang ibu.

"Tidak bisa Bu, ibu bisa kembali ketika usia anak ibu sudah cukup."

Zevanya melihatnya. Melihat ibunya memohon seperti itu. Dia tidak suka. Gadis itu meyakinkan dirinya bahwa dia bisa bermain piano.

Dia mendekat ke arah piano yang kosong. Kemudian berdiri di atas kursi piano — mengingat dirinya sangat kecil saat itu. Dia ingat urutan tuts yang pria di festival itu mainkan. Dia mengingat nada-nada nya. Di tekannya tuts itu dengan jari kecilnya.

Hargai Selagi AdaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang