Jerat Pesugihan

3.4K 113 5
                                    

#JERAT_PESUGIHAN
#Part 9

.

"Waaargh!"

"Aaa!" jerit seroang tetangga. Kaget, menatap Suhadi. "Astagfirullahal'adhim ... Suhadi! Ada orang lewat dikagetin. Gila kamu, ya?"

Ya, Suhadi mengageti siapa saja yang lewat di depan rumahnya. Entah apa yang ada dalam pikiran lelaki tua itu saat ini? Suhadi berperilaku seperti orang tak waras semenjak kepergian Siyem. Mondar-mandir di depan rumah, mengageti beberapa warga yang lewat seperti itu, terkadang menggumam seperti tengah berbicara dengan seseorang. Padahal, posisinya sedang sendiri.

Rumah mewah miliknya yang dulu tampak begitu megah, rapi, dan indah. Kini, bak gudang tua tak berpenghuni, kotor, dan ditempati tikus.

Suhadi tak lagi bisa mengontrol akal sehatnya. Keperluan sehari-hari seperti makan, disediakan oleh siapa saja warga yang iba pada keadaannya kini. Sedangkan, untuk mandi dan pakaian. Entahlah? Suhadi hampir tak pernah mengganti bajunya.

Seperti pagi ini.

Tugiman, sebenarnya bukan tetangga dekat. Namun, melihat Suhadi yang dekil dan tampak kusut, rambut gondong Suhadi bahkan hampir gimbal karena tak pernah keramas, membuat Tugiman ingin memangkas rambut itu agar terlihat lebih rapi. Meskipun, saat mencukur harus menahan bau badan Suhadi.

"Pak, sampean itu sudah tua. Taubat!" Tugiman menasihati Suhadi saat dirinya berkesempatan mencukur rambut Suhadi yang mulai gondrong.

Suhadi bergumam, "Ho ... ya ... hihi. Duniaku, jupuken (Kekayaanku, ambilah)!"

Tugiman menggeleng, "Dunyone sopo? Duit seperak wae neng omahmu gak ono, Lek (Kekayaan siapa? Duit seperak pun di rumahmu tak ada, Lek)!" serunya mengingatkan.

Perkataan Tugiman bukan tanpa alasan. Sebab, beberapa kali warga yang iseng ingin tahu kekayaan Suhadi, mereka nekat masuk ke rumah Suhadi hanya untuk memastikan, seberapa banyak harta yang dimiliki Suhadi dari hasil pesugihannya. Namun, Nihil. Suhadi tak memiliki banyak kekayaan. Di dalam rumah itu, tak ada sepeser pun uang yang Suhadi simpan, hanya barang-barang mewah saja yang terbengkalai dalam rumah itu.

"Hik hik." Suhadi meringik. Ia menunduk, lalu menggeleng pelan.

"Ngapo, Lek, Sampean nangis? (Kenapa, Lek, Anda menangis)?" tanya Tugiman. Santai, sebab, ia tak lagi menganggap hal serius yang diperbuat Suhadi, sejak tahu orang terkaya di kampungnya itu tidak waras.

Suhadi mengangguk.

"Lha ngopo? Kangen Siyem (kenapa? Kangen Siyem)?" tebak Tugiman. Ngasal.

Suhadi diam saja, ia menatap pias entah ke mana.

"Lek, nasibmu sekarang begini ya? Nyesel tidak?" Tugiman bertanya, layaknya orang tengah mengintrogasi tersangka. Sementara, tangannya sibuk menata alat-alat cukurnya.

Suhadi diam lagi, seolah tak mendengar pertanyaan Tugiman.

Angin berembus sedang, meraba kulit keduanya, menyisakan denting suara peralatan yang dimasukkan ke tas alat cukur milik Tugiman. Sementara Suhadi, bibirnya mulai bergetar, mencoba merapal satu demi satu ungkapan isi hatinya pada Tugiman. Tampak di raut wajahnya yang kusam, semburat kesedihan dan ketakutan itu begitu lekat. Meski, beberapa kali Suhadi coba sembunyikan.

"Aku, Man, sebenarnya tidak gila," lirihnya.

Ting.

Alat cukur terakhir berhasil masuk dalam tas. Sementara, Tugiman mulai merasa iba mendengar pengakuan Suhadi.

"Apa peduliku? Lagipula, sudah wajar jika banyak orang menganggapmu gila, sebab tinggakmu itu, Lek." Batin Tugiman. Ia menggeleng, merasa tak perlu dihiraukan pengakuan Suhadi.

JERAT PESUGIHAN (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang