Part 11
.
Gelap.
Suasana di halaman rumah itu berubah gelap. Berbanding terbalik dengan saat aku melihat tadi.
Jelas sekali kulihat sosok berjubah hitam berdiri tepat di depan pintu itu. Akan tetapi, siapa? Ke mana perginya orang itu?
Aku masih celingukan, sementara Sidul dan Kresno meringkuk denga ekspresi wajah ketakutan.
"Ayok, Man, kita balik ke pos kamling?" ajak Sidul dengan suara bergetar.
"Iyo, Man, besok lagi dituntaskan rasa penasaranmu." Kresno menimpali. Kedua rekanku benar-benar ketakutan.
Aku menggelengeng, "Kalian duluan saja," kataku.
"Man, iki wis wengi banget (ini sudah sangat malam)," Kresno membujuk.
Antara penasaran dan kasihan pada kedua rekanku. Akhirnya, aku mengalah dan memutuskan kembali ke pos kamling bersama mereka.
***
Sesampainya di pos kamling. Yu Darti--tetangga Suhadi--sudah berdiri di area pos kamling. Entah untuk keperluan apa, wanita itu menyempatkan diri datang ke pos keamanan ini. Padahal, kami baru saja dari kompleksnya.
"Kang, kalian itu ke mana saja?" Yu Darti tampak kesal, melihat kami baru rampung muter keamanan.
"Ya muter lah, Yu. Memangnya ada apa?" tanya Sidul seraya meletakkan pantatnya di atas tikar pos kamling.
Dengan wajah panaik, Yu Darti mengatur napas.
"Apa belum pada tahu?" Yu Darti memastikan.
Aku yang ingin segera tahu apa keperluannya, lebih memilih diam sambil menuang teh ke dalam gelas dan langsung meminumnya.
"Tahu apa?" Kresno bertanya sambil meraup kacang rebus di atas piring.
"Duuh, kepie sih, iku loh ... Pak Suhadi ...," katanya tak diteruskan.
"Kenapa, Yu?" Tak sabar aku bertanya ingin tahu.
"Pak Suhadi nganu ... mat-eh, meninggal!"
"Innalillahi wainnailaihi roji'un!" Serentak kami yang mendengar penuturan Yu Darti kaget.
Baru saja kami berkeliling di kompleks tersebut, tapi tak ada tanda apa pun. Kini, di saat bersamaan, Yu Darti mengumumkan berita kematian Suhadi.
Aneh menurutku. Lalu, apa mungkin seseorang yang berdiri di halaman rumah Suhadi itu, malaikat pencabut nyawa? Ah, rasanya tak mungkin. Oh, atau ... Jin pesugihan penjerat Suhadi?
Kami bertiga saling lempar pandangan. Lalu, tampa aba-aba segera meluncur ke tempat Suhadi.
"Yok! Ndang ke sana," ajak Yu Darti. "Kok, bisa-bisanya kalian yang habis keliling tidak tahu kalau ada kematian di rumah itu?" tanya Yu Darti penasaran.
Kresno menjawab, "Ya, Tugiman tadi lihat katanya ada orang ngadeg depan rumah itu, tapi aku sama Sidul gak lihat. Makanya ...." Tugiman tak meneruskan ceritanya.
"Makanya apa, Kang?" tanya Yu Darti sangat penasaran.
"Makanya kita lari, balik ke pos kamling. penyebabnya ya itu, Kresno sama Sidul ketakutan. Dikira yang ngadeg itu demit." Aku melanjutkan cerita Kresno.
Yu Darti menggeleng, sedangkan kedua rekanku cuma nyengir sambil terus melangkah ke tujuan.
***
Beberapa orang berkumpul di halaman rumah itu. Bapak-bapak seperti biasa, berjaga di luar dan ibu-ibu di dalam membaca puji-pujian serta mengurus jenazah."Eh, kene (sini)!" Melihat kami berempat datang, salah seoang tetetanga kami yang bernama Pak Dikri melambai, menyuruh kami ikut berkumpul dengan orang-orang yang sudah lebih dulu datang.
"Ono opo to, Lek Dik?" tanya Sidul.
"Kok, ono opo to, Dul. Yo iku Suhadi, Wis wayahe," ucap Lek Dikri sedikit dipelankan.
Kedua rekanku tampak menikmati obrolan mereka. Aku yang sedikit penasaran dengan keadaan Suhadi bergegas masuk, menyalami beberapa bapak-bapak yang ikut nimbrung membantu ibu-ibu. Lalu, menuju tempat dibaringkannya tubuh kurus tanpa nyawa itu di depan sana.
Rupanya, tetangga sudah melucuti seluruh pakaian Lek Suhadi. Kini, tubuh terbujur kaku itu rapat tertutup kain jarik.
"Kene, Man, tiliken. Kamu kan yang paling dekat akhir-akhir ini sama Lek Suhadi. Menowo pingin lihat untuk yang terakhir kali, Man." Yu Minah yang duduk dekat jenazah Suhadi, langsung menyuruhku untuk membuka kain penutup itu.
Ya, penasaran. Lebih tepatnya, aku ingin melihat wajah orang yang sudah kutemani hampir setiap hari akhir-akhir ini. Sayangnya, entah sudah berbenah diri untuk menuju alam baka, atau belum Lek Suhadi, aku tidak tahu. Kesibukan sebagai tukang tak bisa sering-sering menyambangi orang tua itu. Lagipula, saat itu kupikir, siapa dia? Aku punya kelaurga yang jelas harus dinafkahi ketimbang menemani orang tua itu.
Kuatur napas sejenak sebelum menyibak kain penutup wajah itu. Kemudian, melirik sekilas ke arah Yu Minah yang kemudian mengangguk, lalu ....
"Astagfirullah hal'adhim!" Aku terlonjak spontan mundur. Sementara, Yu Minah dan tetangga yang sudah lebih dulu tahu keadaan Suhadi, langsung menyangah tubuhku yang sempat terhuyung lemas.
Tanpa kata apa pun, para tetangga yang kutatap satu per satu hanya mengangguk, seolah mengatakan, "Ya begitulah keadaan Suhadi."
Tubuhku bergetar hebat. Entah rasa apa ini. Tiba-tiba sesuatu seolah mendorong dada, terasa menghimpit, sesak, dan membuat mataku seketika panas.
"Sabar, Man, sabar!" pinta seseorang yang tak kutahu siapa. Mereka, para ibu-ibu mengelus-elus bahuku seperti menyalurkan naluri kekuatan untuk melihat jenazah Suhadi.
"Ik-iki bener ...," tanyaku terbatas-bata. Sebab, air mata tumpah melihat kejadian ganjil di depan mata.
Yu Minah dan beberapa tetangga mengangguk. Membenarkan bahawa yang saat ini kaku tanpa nyawa adalah Suhadi si pemuja setan.
"Kenapa bisa seperti itu, Yu?" tanyaku masih tak yakin.
Yu Minah menggeleng, sementara tatapan tetangga yang lain sama. Sama-sama tidak tahu tentang ganjilnya keadaan mayat Suhadi.
Kutatap kembali wajah Suhadi yang mulutnya menganga seperti tengah menahan sakit yang teramat sangat, dengan bola mata melotot hampir lepas dari tempatnya, dan yang paling mengerikan lagi ... sekujur tubuhnya menghitam. Entah apa penyebabnya, masih tak jelas. Atau mungkin, yang kulihat berdiri di depan rumah ini adalah, Jin pesugihan itu? Ngeri. Aku mendekat, lalu pelan sekali kembali menutup kain jarik ke wajah Suhadi. Membiarkan orang-orang sibuk merumat jenazahnya.
***
"Gak nyangka ya, Suhadi akhirnya begitu. Rumah mewah dan seisinya ternyata gak bisa buat jaminan mati enak." Seseorang berceletuk saat menghadiri pemakaman Suhadi. Beberapa di antaranya berbisik dengan suara lirih, seperti membicarakan tentang kematian tak wajar yang dialami Suhadi lewat lirikan mata mereka.
Aku diam, kemudian menggeleng membenarkan perkataan mereka. Betapa nasib kematian Suhadi tak semujur saat hidupnya. Kemudian, bergumul dengan para tetangga yang sudah sibuk dengan tugasnya masing-masing untuk memakamkan Suhadi.
"Sudah siap, ya, tinggal nunggu mayidnya datang," seru Lek Dikri memberi aba-aba pada kami yang membantu.
Detik kemudian, rombongan pengantar jenazah muncul. Tak menunggu lama, proses pemakaman pun berjalan dengan semestinya hingga selesai.

KAMU SEDANG MEMBACA
JERAT PESUGIHAN (TAMAT)
Misteri / ThrillerSebuah kisah tentang bagaiman keadaan yang menghimpit hidup, ternyata bisa menjerumuskan seseorang masuk dalam kubangan dosa.