#JERAT_PESUGIHAN
#Part 8.
Tetangga berbondong ke rumah Suhadi, beberapa di antaranya mengabari tetangga yang lain mengenai meninggalnya Bu Siyem.
Di rumah megah itu, terlihat bapak-bapak dan ibu-ibu memenuhi halaman. Sementara, Suhadi masih duduk di sisi jenazah sang istri.
"Pak, sebaiknya Bu Siyem segera diurus jenazahnya. Kasihan," ucap Bu Lebe seorang ahli pengurus jenazah pada Suhadi.
Suhadi mengangguk. Perlahan ia menyingkir, memberi ruang untuk para tetangga dan Bu Lebe yang akan mengurus jenazah Siyem.
Beberapa tetangga masuk ke kamar, untuk membantu Bu Lebe mengangkat jenazah Bu Siyem ke ruang tamu. Namun, di sana, tepat di sisi jenazah Bu Siyem berdiri sosok mengerikan. Hitam, besar, kedua bola matanya merah.
"Astagfirullah hal'adhim ...." Bu Lebe beristigfar, sebab hanya beliau yang melihat mahkluk itu di sana.
"Ada apa, Bu?" tanya seorang tetangga.
Bu Lebe tersenyum, lalu menggeleng, berusaha mengalihkan pertanyaan.
"Ayuk ... hati-hati! Kamu sebelah sana ... kamu sana, ya?" pinta Bu Lebe pada tetangga yang siap membantunya.
Makhluk hitam itu diam di sana, dengan mata tampak bengis menatap Bu Lebe.
Seketika hawa panas menyeruak. Tangan Bu Lebe gemetar. Ia ragu untuk menyentuh tubuh Bu Siyem, tapi tugasnya sebagai juru jenazah, jelas tak bisa disepelekan.
Sesekali Bu Lebe melirik makhluk itu. Takut hal buruk terjadi jika ia nekat memindah jenazah Bu Siyem.
"Ini tugasku. Jadi, jangan halangi aku untuk melakukan ini. Pergilah!" Meski lirih, Bu Lebe bergumam penuh penekanan. Berharap makhluk itu segera pergi.
Benar. Bu Lebe melirik ke arah makhluk itu lagi untuk memastikan masih atau tidak makhluk itu di sana, dan ternyata makhluk itu telah lenyap entah ke mana?
Bu Lebe mengembus napas lega. Beliau dan beberapa tetangga siap melakukan tugasnya.
Perlahan, tubuh Bu Siyem dipindah ke ruang tamu, dibaringkan di atas kasur yang telah disiapkan warga yang membantu.
Tetangga yang berbelasungkawa bergegas gotong royong. Ada yang membaca surat yasin. Hal yang biasa dilakukan masyarakat, saat ada orang meninggal. Sedang sisanya bersalawat sembari menyusun bunga-bunga untuk pemakaman nanti.
***
Lelaki tua itu diam. Tak ada lagi teman berbagi kata. Tak ada lagi seseorang yang menyiapkan kopi hitam favoritnya. Ia termangu. Tatapan kosong tergambar jelas di ceruk mata itu yang kini begitu tampak layu. Menunggu giliran. Giliran kematiannya.***
"... aku tidak ingat, kapan terakhir rumor atau bahkan fakta tentang Pak Suhadi yang dikabarkan muja, No. Akan tetapi, aku ingat betul nasihat bapakku agar tidak terbuai dengan sesuatu yang ditawarkan Pak Suhadi.""Terbuai tentang apa?"
"Banyak. Contohnya ... ya seperti disuruh menyiram kebunnya, membajak sawahnya, memupuk seluruh tanaman di perkebunannya, dan yang lainnya. Tetangga tidak terbuai dengan pekerjaan yang ditawarkan. Tetapi, dengan upah yang akan diperoleh." Asap rokok diembus Sidul. Lelaki itu tampak mengingat banyak hal di kepalanya.
Kresno mengangguk, tampak paham. Sesekali ia menelan saliva, merasa tak habis pikir dengan jalan hidup yang diambil Pak Suhadi.
"Apa ini jadi akhir cerita Pak Suhadi, Dul?" tanya Kresno, mencari kejelasan.
"Belum tentu."
"Apalagi? Bukankah, sudah tak ada lagi keluarga? Tinggal dia sebatang kara. Lantas, apa yang mau dijadikan tumbal lagi untuk pesugihannya?"
"Nyawanya!"
Kresno mendelik. Ia lupa, bahwa Suhadi masih memiliki nyawa yang pasti jadi sasaran berikutnya.
Asap rokok berhamburan di udara. Siapa lagi pelakunya, jika bukan Sidul? Sementara Kresno diam, beberapa kali ia menelan saliva, membayangkan akhir hidup Suhadi yang kini sebatang kara.
"Dulu, jaman aku dan adik-adik masih kecil. Ada sebuah cerita. Saat itu teman-teman bersukacita, sebab bapak mereka diundang ke acara syukuran sunatan Sirin, anak Suhadi yang ke-tiga.
Banyak sekali makanan yang bapak mereka dapat setelah pulang menghadiri undangan itu. Aku dan adik-adik yang melihat itu, merasa iri. Lalu, menanyakan hal itu pada bapak. 'Pak, kok, gak ikut tahlilan?' sebab, aku tahu, bapak diundang oleh Suhadi juga.
Bapak jawab, 'Iya, di sana ada setan. Takut setannya ke sini. Jadi, bapak gak berangkat.' itu katanya.
Kini, baru aku tahu, bapak beralasan tentang hal itu. Tak masalah. Sebab, aku yakin bapak berbohong demi keluarga, agar tak jadi tumbal pesugihan Suhadi. Mesipun, ya ... memang belum ada bukti, kalau Suhadi menumbalkan tetangga juga." Sidul mengakhiri cerita, lalu mengangkat cangkir berisi teh di atas meja, kemudian meminumnya.
"Ayu meninggal sebab jatuh di sawah Suhadi, itu tidak bisa jadi bukti?" Kresno bertanya antusias. Rasa penasaran tentang jerat pesugihan ternyata begitu mengulik keingintahuannya.
Krek.
Cangkir diletakan kembali ke atas meja.
Mendengar itu, Sidul menggeleng.
"Aku rasa tidak," ujarnya.
Malam kian larut, tapi kedua lelaki itu terus asyik membahas hal yang tak bisa dinalar.
***
"Apa yang kau ingin dariku?""Nyawamu," jawab makhluk hitam di dalam kamar Suhadi dengan suara serak menggelegar, dan hanya Suhadi yang mendengar.
"Hahaha ... tidak cukupkah, anak dan istriku?"
Makhluk hitam itu diam. Lalu, angin berembus pelan menyimak rambut Suhadi yang kian memutih. Mata Suhadi mengembun, perlahan kian tebal, dan berubah jadi bulir air yang siap meluncur membasahi pipi keriputnya. Dalam pikirannya, hampa. Sepi, tak ada teman berbagi. Perlahan, Suhadi bangkit, lalu mendekat ke arah makhluk menjijikan itu.
Ditatapnya dalam-dalam makhluk yang hanya bisa dilihat olehnya dengan penuh kemarahan. Kemudian ....
"Makhluk bodoh!" umpat Suhadi.
Makhluk itu diam tak merespon. Hanya ada tatapan bengis menakutkan dari kedua mata makhluk itu yang kian memerah menatap tajam Suhadi.
"Harta berlimpah. Tak ada siapa-siapa. Tua, busuk jadi bangkai! Hahaha ...." Pekikan tawa putus asa dari mulutnya, seakan coba menghibur diri sendiri. Suhadi mulai gila.
Hidup bergelimang harta, sebenarnya tak menjamin manusia selalu bahagia. Hanya saja, banyak manusia seperti Suhadi yang tak berpikir panjang saat mengambil keputusan paling fatal dalam hidupnya. Benar-benar mengenaskan.
***
"Masih ingin muja, kamu, No?" tanya Sidul."Haha ... melihat akhirnya seperti itu, aku sih, ogah!" timpal Tugiman.
Kresno yang awalnya memang ingin melakukan hal bodoh seperti Suhadi, kini bimbang. Banyak pertimbangan yang tampaknya telah membuat nyalinya ciut. Lebih baik, daripada mengambil jalan sesat untuk menghidupi keluarga.
"Em ... lebih baik hidup seperti ini, Dul. Ya gak, Man?" ucap Kresno.
"Tul!" Tugiman setuju.
Sidul mengangguk. "Memang lebih baik hidup seperti ini. Apa adanya. Yang penting, anak istri sehat. Walaupun untuk membahagaiakan mereka, kita harus berjuang penuh. Banting tulang," tegasnya.
Kadang, seseorang baru menyadari sebuah tindakan itu baik atau buruk, setelah orang lain mengalami nasib dari tindakan yang diambilnya. Maka, betapa perlunya menakar sebuah keputusan, sebelum benar-benar terjun pada pilihan hidup.
Bersambung ....

KAMU SEDANG MEMBACA
JERAT PESUGIHAN (TAMAT)
Mystery / ThrillerSebuah kisah tentang bagaiman keadaan yang menghimpit hidup, ternyata bisa menjerumuskan seseorang masuk dalam kubangan dosa.