Jerat Pesugihan

6K 155 5
                                    

#JERAT_PESUGIHAN
#Part 5

PoV Sidul.

Umurku masih 13 tahun saat mendengar sebuah cerita yang sampai detik ini membuat hidupku ada di antara percaya atau tidak percaya.

Ya, sebuah cerita yang sebenarnya hanya perlu di dengar oleh beberapa orang saja, tidak termasuk aku.

Malam itu, beberapa warga mendapat jatah ronda. Eh, bukan ... bukan ronda. Entah ... ada acara apa saat itu. Yang pasti, beberapa orang tua berkumpul di teras rumahku. Ada bapak juga ikut di antara mereka, termasuk aku.

Aku hanya seorang anak kecil yang memang tidak ingin tahu tentang obrolan orang tua. Saat itu Pak Hamid ada bersama rombongan, beliau membawa Karim--almarhum anaknya--yang dulu sangat akrab denganku saat usia kami sama-sama belasan tahun.

Karim dan aku asyik bermain ketika obrolan di antara orang tua sepertinya sedang sangat serius. Tapi, tiba-tiba Karim memutuskan untuk pulang ke rumah, dengan alasan ngantuk ingin tidur.

Jadi, aku mengizinkannya pulang. Karim meninggalkan bapaknya yang masih serius mengobrol bersama bapakku dan beberapa orang tua yang lain.

Aku yang memang belum ngantuk, memilih untuk rebahan di samping bapak yang tengah duduk, sambil berbicara.

" ... nekat sekali dia, dia pikir tidak ada resiko yang akan ditanggung. Tunggu saja!" ucap Bapakku. Aku tidak tahu apa yang mereka obrolkan saat itu.

"Ha, tunggu saja. Seharusnya dia sayang pada nyawanya, atau minimal sayang pada anak-anaknya," sambung Lek Cahyo, dan aku masih tidak paham apa yang tengah menjadi topik obrolan mereka.

"Aku rasa dia tidak membual. Buktinya, baru kemarin dia menikah, sekarang bisa membuat gubug. Ya ... memang hanya dinding triplek dan atap seng. Sedangkan kita yang hanya buruh ...?" Lek Sinur bertanya ngambang, dan aku semakin diam masih tak paham apa yang mereka obrolkan.

Bapak yang sadar akan kehadiranku, beliau menunduk, menatap, memerhatikan wajahku, seperti memastikan aku terlelap, mungkin.

"Le, tidur di dalam. Sana ...," pinta Bapak seraya mengelus kepalaku. Ternyata bapak tahu aku masih terjaga.

Aku menggeleng, makin erat memeluk tubuh bapak, "Tidur di sini saja, Pak. Nemenin Bapak."

Bapak mengangguk, memindah kepalaku ke atas pahanya yang keriput. Lalu, bapak kembali fokus pada obrolan yang tengah dibahas bersama para tetangga.

"Payah ... Suhadi payah!" Seperti kesal sekali Lek Cahyo mengucapkan hal itu.

Suhadi? Pak Suhadi?

Sebuah nama yang kukenal seakan membuka tabir yang belum sempurna terjawab, dan masih membentuk segaris tanya yang seolah berputar di otakku.

"Iya. Aku khawatir, suatu saat tetangga bisa jadi korban." Bapak menatap sekilas ke arahku, lalu beralih kepada dua teman ngobrolnya.

Lek Cahyo dan Lek Sinur hanya mengangguk-angguk. Entah ikut khawatir, atau hanya berpura-pura khawatir.

"Semoga saja tidak ada hal buruk terjadi pada kelaurga kita," gumam Lek Sinur.

"Aamiin."

Aku pun ikut mengamini ucapan Lek Sinur dalam hati, meski aku belum tahu betul arah obrolan mereka.

"Monggo seonone iki, disambi (silahkan seadanya ini, dinikmati) ...." Ibu meletakan teko berisi minuman dan piring berisi singkong rebus, ada sedikit gula merah yang mungkin dicampur saat merebus singkong itu, aromanya wangi manis. Sepertinya sangat lezat.

"Wah ... ngrepoti iki (merepotkan iki)." Seolah sungkan, tapi Lek Cahyo tetap nyomot singkong yang aromanya menggoda itu.

Ibu tersenyum, menggeleng heran seraya berlalu masuk meninggalkan kami.

JERAT PESUGIHAN (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang