Sinta terdiam dan menatap ke arah rumah mewah yang dinomimasi warna putih dan hitam di depannya. Matanya sempat menelisik di antara cela-cela gerbang, di mana ada beberapa penjaga di dalamnya.
"Tuan Reyhan. Apa ini benar-benar rumahnya?" Sinta menatap ke arah kertas yang berisikan alamat yang Renata tulis untuknya. Dan setelah banyak bertanya ke beberapa orang, Sinta akhirnya menemukan rumah itu. Di sana bangunannya cukup menakjubkan, jadi tak akan mengherankan bila Sinta sedikit meragukan kebenaran alamatnya.
Tidak ingin terus-terusan merasa penasaran, Sinta memutuskan untuk masuk dan bertanya ke penjaga rumah. Sinta hanya tidak mau pulang tanpa mendapatkan hasil, setidaknya ia harus mendapatkan uang untuk biaya operasi adiknya. Setelah itu, Sinta bisa mencari uang lagi bila hanya untuk proses kesembuhan adiknya. Ya, Sinta pikir ia harus yakin melakukannya.
"Permisi, Pak." Sinta menyapa ke arah penjaga yang sedang bercengkrama di sebuah pos yang berada di dalam rumah tersebut.
"Iya, ada yang bisa saya bantu?"
"Apa benar rumah ini yang berada di alamat ini?" Sinta menyodorkan kertas yang berada di tangannya ke penjaga tersebut.
"Iya, benar. Ada perlu apa ya?"
"Saya boleh bertemu dengan Tuan Reyhan? Saya mau berbicara serius dengan dia." Sinta menjawab jujur tanpa mau berbelit-belit, yang diangguki oleh lelaki bertubuh besar dan tinggi tersebut.
"Baiklah. Anda boleh bertemu dengan Tuan Reyhan. Mari saya antarkan." Sinta hanya mengangguk kaku lalu berjalan di mana lelaki itu melangkah. Di dalam rumah itu tampak megah dengan perabotannya yang terlihat mahal untuk Sinta yang tidak pernah melihatnya. Matanya terus menjelajah, menikmati suasana rumah yang cukup menakjubkan untuk matanya.
"Anda bisa tunggu di sini," ujar pengawal itu sembari menunjuk ke arah sofa, sedangkan Sinta hanya mengangguk lalu duduk dan menatap kepergiannya.
Di sisi lainnya, lelaki yang sudah bertelanjang dada bersama dengan wanitanya itu menggeram marah, saat ada seseorang yang berani mengetuk kamarnya. Seharusnya orang itu tahu kalau ia tidak ingin diganggu saat sedang di kamar, apalagi bila yang melakukannya adalah pengawal atau penjaga rumahnya.
"Brengsek, awas kalau tidak penting." Lelaki berkulit putih itu terus menggerutu sembari memakai kaosnya, meninggalkan wanitanya yang sudah siap diterkam miliknya.
"Sayang, ayo katanya mau main?" Wanita itu menarik tangannya dengan wajah menggodanya, namun ia justru berdecak kesal lalu menatap ke arah pintu kamarnya dan berjalan ke arahnya.
"Ada apa? Mau mati?" tanyanya setelah membuka pintu lalu mencengkeram leher penjaganya, yang saat ini tengah ketakutan melihat kemarahannya.
"Maafkan saya, Tuan. Ada yang ingin bertemu dengan Tuan di depan," jawab penjaga setianya itu dengan nada ketakutan, yang seketika didorong kasar oleh tuannya.
"Siapa? Awas saja kalau tidak penting, akan aku bunuh kamu." Lelaki yang biasa dipanggil dengan sebutan Reyhan itu menunjuk pengawalnya yang tertunduk dengan leher yang masih terasa sakit.
"Seorang wanita cantik, Tuan. Saya pikir dia wanita yang Tuan pesan, makanya saya berani mengganggu waktu anda. Maafkan saya, Tuan."
"Wanita cantik?" gumam Reyhan sembari berpikir siapa wanita yang ingin menemuinya. Karena seingatnya ia tidak memesan wanita lagi untuk hari ini.
"Apa dia pernah ke rumah ini?"
"Tidak pernah, Tuan. Dia seperti ragu-ragu masuk ke rumah ini dan dia juga sedikit takut bila dilihat dari ekspresi wajahnya, tapi dia sangat cantik, Tuan." Reyhan kembali berpikir meski pada akhirnya bibirnya tersenyum, hatinya merasa penasaran dengan siapa sebenarnya wanita yang pegawainya maksud.
KAMU SEDANG MEMBACA
In Bed Bastard (TAMAT)
Romance"Kamu boleh membeli tubuhku, tapi tidak dengan cintaku." Sinta Anastasya. "Kalau begitu kontrak ini tidak akan berakhir sampai kamu bisa mencintaiku." Reyhan Wijaya. Demi kesembuhan adiknya, Sinta rela menjual tubuhnya kepada Reyhan, lelaki hidung b...