Sinta berjalan pelan ke arah ruangan adiknya dirawat. Di sana Renata masih menunggu dan menjaga Sindy, sedangkan adiknya itu sudah terlelap di atas brangkarnya. Renata yang melihatnya pulang itu seketika mendirikan tubuhnya lalu menghampiri Sinta yang sepertinya sedang terlihat tidak baik-baik saja.
"Sinta," panggil Renata lirih yang hanya ditatap Sinta dengan wajah lelahnya.
"Bagaimana? Apa kamu berhasil membuat Tuan Reyhan mau membelimu?" tanya Renata hati-hati, yang kali ini diangguki pasrah oleh Sinta.
"Iya ...."
"Lalu kenapa kamu terlihat tidak senang? Seharusnya kamu kan bahagia bisa mendapatkan uang untuk pengobatan Sindy?" tanya Renata lagi dengan nada yang sama.
"Tapi aku takut, Re. Apa yang aku lakukan itu salah, tapi aku juga tidak punya pilihan lain," jawab Sinta sembari kembali menangis. Renata yang tahu bagaimana perasaan temannya itu hanya terdiam lalu memeluk tubuhnya erat, seolah ingin mengatakan bila dia tidak sendirian sekarang.
"Aku tahu dengan apa yang kamu rasakan, Sinta. Tapi semua keputusan ada di tanganmu, kamu bisa mengurungkan semuanya, bila kamu merasa tidak sanggup melakukannya." Renata berujar lembut sembari mengusap perlahan punggung Sinta yang sedikit sesenggukkan.
"Aku tidak apa-apa, Re. Aku akan tetap melakukannya demi Sindy, aku hanya merasa sedang takut." Sinta terus menitikkan air matanya di bahu Renata.
"Aku mengerti perasaan kamu, Sinta. Ingat ya, kamu melakukan semua ini demi Sindy, kamu harus kuat dan tidak boleh menangis, apalagi di depan adikmu." Renata menatap ke arah Sindy yang sudah terlelap, diikuti Sinta yang masih berada di rengkuhannya.
"Dia masih remaja, Re. Seharusnya dia sekolah dan memiliki banyak teman," ujar Sinta sembari terus berusaha kuat, walau rasanya dadanya terasa sesak mengingat semua itu.
"Aku tahu, Sinta. Kamu yang kuat ya?"
"Bagaimana caranya aku kuat, Re? Kanker otak itu kemungkinan sembuh itu sangat kecil."
"Tapi setidaknya kamu sudah berusaha, Sinta. Entah bagaimana nanti terjadi, kamu tidak akan menyesal karena kamu sudah melakukan yang terbaik." Renata kembali memeluk Sinta, menenangkan wanita itu dalam dekapannya. Sedangkan Sinta hanya menganggu lirih, di dalam hati ia merasa sedikit lebih tenang walau ia juga tidak memungkiri bagaimana rasa takut itu hampir menenggelamkannya hingga dadanya terasa sesak dan sulit bernafas.
***
Sinta terdiam mengamati dan membaca setiap kalimat yang tertera di sebuah kertas kontrak yang baru Reyhan serahkan untuknya. Di kertas itu, ada beberapa syarat-syarat yang harus Sinta patuhi, termasuk tidak boleh menolak saat Reyhan meminta apapun yang ia inginkan.
"Kontrak itu berisikan perjanjian kita kemarin, bila aku akan membiayai operasi dan semua pengobatan adikmu sampai sembuh. Sedangkan kamu akan menjadi pelayanku selama yang aku mau. Sampai aku yang membuangmu, kamu tidak boleh pergi dariku." Reyhan berujar lugas ke arah Sinta yang tertunduk dan mengangguk samar, ia tahu bila ia tidak memiliki kuasa untuk menggugat semua keinginan Reyhan nanti, karena ada nyawa adiknya yang Sinta pertaruhkan di perjanjian ini.
"Aku mengerti." Sinta menjawab seadanya lalu meletakkan kertas berisikan kontrak itu ke atas meja.
"Kamu tanda tangani sekarang!" Reyhan memberikan pena pada Sinta, namun wanita itu justru terdiam menatapnya.
"Aku tidak mau tanda tangan sebelum kamu melakukan sesuatu untuk adikku, setidaknya kamu harus memindahkan adikku ke rumah sakit yang lebih besar untuk operasi." Sinta menjawab tenang walau sebenarnya ia sedang takut menghadapi hal-hal seperti ini, terlebih lagi meminta lebih pada Reyhan, seseorang yang terkenal bajingan.
KAMU SEDANG MEMBACA
In Bed Bastard (TAMAT)
Romance"Kamu boleh membeli tubuhku, tapi tidak dengan cintaku." Sinta Anastasya. "Kalau begitu kontrak ini tidak akan berakhir sampai kamu bisa mencintaiku." Reyhan Wijaya. Demi kesembuhan adiknya, Sinta rela menjual tubuhnya kepada Reyhan, lelaki hidung b...