Sinta terdiam di meja makan setelan memasak makanan untuk makan malam Reyhan. Sebenarnya Sinta tidak tahu Reyhan sudah makan atau belum, ia hanya merasa bosan saja bila harus duduk sendiri tanpa melakukan apapun. Mau bagaimana pun, Sinta juga harus membalas budi akan kebaikan yang sudah Reyhan lakukan pada adiknya. Walau semua itu didasari oleh perjanjian, tapi tetap saja Sinta merasa bersyukur akan semua itu.
Setelah pulang dari kantor tempatnya bekerja, Sinta langsung mengunjungi Sindy di rumah sakit, namun adiknya itu justru tidak bisa ditemui karena ada beberapa prosedur rumah sakit yang mengharuskan Sinta hanya bisa melihatnya dari balik jendela. Itupun waktunya juga dibatasi, Sinta tidak bisa melihat keadaan adiknya setiap saat. Karena itu lah, Sinta memutuskan untuk pulang ke rumah Reyhan, setelah salah satu perawat meminta nomor ponselnya kalau-kalau dibutuhkan mereka akan segera menghubunginya.
Di dalam hati, Sinta tidak henti-hentinya berharap akan kondisi adiknya yang suatu saat nanti pasti akan sembuh. Sinta merasa tidak tahu apa yang akan terjadi nanti, bila ia harus kehilangan adiknya, saudara dan keluarga satu-satunya yang ia punya. Rasanya Sinta hanya tidak bisa membayangkannya saja, terlebih lagi ucapan Sindy kemarin begitu menyesakkan dadanya.
Tanpa sadar, Sinta kembali menangis seolah matanya tidak pernah kering saat harus menangisi kondisi adiknya yang masih sama. Sampai saat Sinta mendengar suara pintu rumah terbuka, Sinta buru-buru menghampiri seseorang yang Sinta yakini itu pasti Reyhan yang baru datang dari kantornya.
"Kamu sudah pulang?" tanya Sinta berbasa-basi, yang hanya disenyumi oleh Reyhan yang terlihat lelah sembari membuka jas dan dasinya.
"Aku bawakan ya?" tawar Sinta yang hanya diangguki oleh Reyhan lalu memberikan jas dan dasinya itu ke tangan Sinta begitu saja.
"Kamu sudah makan belum?"
"Belum. Kenapa? Kamu masak lagi?" Reyhan menghentikan langkah kakinya lalu menatap ke arah Sinta dengan tatapan tanya.
"Iya. Maaf, aku memakai dapur kamu lagi." Sinta menjawab penuh bersalah, namun Reyhan justru tersenyum mendengarnya lalu kembali berjalan ke arah meja makan.
"Tidak apa-apa, kamu boleh melakukan apapun di rumah ini, termasuk dapur."
"Iya ...." Sinta menjawab seadanya sembari memperhatikan langkah Reyhan yang sepertinya tengah berjalan ke arah ruang makan.
"Kamu makan masakanku?" tanya Sinta yang lagi-lagi ditatap oleh Reyhan yang kembali menghentikan laju kakinya.
"Kenapa kamu bertanya seperti itu? Apa kamu memasak bukan untukku?" tanyanya dengan memicingkan matanya.
"Tentu saja untuk kamu, aku hanya tidak yakin kamu mau memakan masakanku lagi atau tidak."
"Masakanmu enak, kenapa aku tidak mau memakannya?" Reyhan menyunggingkan senyum ramahnya yang ditanggapi senyuman lega oleh Sinta.
"Kalau begitu, aku akan memasak untuk kamu setiap pagi dan malam ya?" tawar Sinta sembari berjalan mengikuti langkah Reyhan di belakangnya.
"Iya. Dan ini untuk kamu," jawab Reyhan sembari memberikan sebuah kartu untuk Sinta.
"Apa ini?"
"Itu kartu kredit buat kamu. Kamu pakai untuk memenuhi semua kebutuhanmu selama kamu menjadi milikku."
"Tapi ... apa ini tidak berlebihan? Aku sudah sangat berterima kasih karena kamu sudah mau membiayai pengobatan adikku, jadi kamu tidak perlu melakukan ini." Sinta kembali memberikan kartu itu, namun Reyhan justru tersenyum lalu mendekat ke arah Sinta.
"Aku mau melakukan ini juga tidak gratis kan? Jadi terimalah! Anggap saja ini perintah dariku." Reyhan berujar tepat di hadapan Sinta yang meringsut takut.
KAMU SEDANG MEMBACA
In Bed Bastard (TAMAT)
Romance"Kamu boleh membeli tubuhku, tapi tidak dengan cintaku." Sinta Anastasya. "Kalau begitu kontrak ini tidak akan berakhir sampai kamu bisa mencintaiku." Reyhan Wijaya. Demi kesembuhan adiknya, Sinta rela menjual tubuhnya kepada Reyhan, lelaki hidung b...