Karena...

42 2 0
                                    


Bukan tak mau jujur dari awal, namun saya sudah terperangkap dalam egoisnya sebuah rasa. Saya memang sudah mempunyai pasangan, dan salahnya tidak jujur dari awal kepadamu. Namun ada alasan mengapa rasa ini bisa jatuh kepadamu padahal saya sudah terikat oleh sebuah komitmen.

Dia (pacarku) adalah teman satu kelas saat SMA. Saya bersamanya sudah hampir dua tahun. Setelah masuk kuliah, kita tidak satu kampus. Hubungan kami awalnya biasa saja, walaupun hubungan jarak jauh saya selalu menjaga hati dan menghargainya serta selalu setia. Tapi setahun lebih kemudian sikapnya mulai berbeda, seakan dia sudah tak perduli lagi. Saya berpikir positif kepadanya, barangkali sibuk dengan kuliahnya. Namun Tuhan memberikan sebuah petunjuk, walaupun menyakitkan namun saya masih tetap bersyukur dengan sebuah kenyaatan yang terbilang pahit itu. Rupanya dia sedang dekat dengan laki-laki yang mungkin teman kampusnya. Hanya dengan memberikannya pelajaran yaitu sebuah kehilangan, mungkin dia akan sadar atas kesalahannya. Benar saja, dia menolak saat saya tidak mau lagi bersamanya. Dia meminta maaf dan meminta kesempatan satu kali lagi untuk memperbaiki semuanya. Tentu saya menolak, karena sebesar apapun masalahndalam sebuah hubungan jika itu merupakan penghianatan, secara tidak langsung rasa kepercayaan yang mati-matian ditanam akan layu hanya dengan satu tindakan bodoh.

Dia tidak terima dengan keputusan hanya satu pihak saja, lalu meminta bantuan ibunya untuk mempertahankan hubungan kami. Dengan terpaksa saya menerimanya karena kedua orang tuanya langsung meminta maaf dan memohon kepada saya untuk dipikirkan kembali mengenai hubungan kami. saya pun bersedia dengan terpaksa. Hubungan kami akhirnya berlanjut karena ada faktor eksternal yang bertindak. Dari kejadian itu, hati ini menjadi kosong tanpa penghuni. Kecewa iya, benci pastinya. Dia yang meminta kesempatan, namun dia yang memperlihatkan sikaf tak mau melanjutkan. Rasa percaya kepadanya sudah tidak ada lagi. Kalau bukan karena orang tuanya mungkin saya tak akan melanjutkannya. Ketika dia mengulangi kesalahnnya "lagi", saya punya bukti yang cukup kuat untuk diberikan kepada orang tuanya.

Saat hubungan kami tak akur dan tak saling memperdulikan dan perjalanan pencarian bukti itulah, saya bertemu denganmu (Risa). Niat saya hanya melampiaskan kekecewaan ini kepada hal positif yaitu membuat tulisan-tulisan serta berkarya. Tak terbesit sedikitpun dibenaku untuk mendekatimu. Pertama kali kita kenal hanya sebatas teman antar sesama pecinta sastra, bukan untuk saling menanam rasa. Namun Tuhan berkata lain, hadirmu seperti datangnya hujan diatas tanah yang tandus dan kering. Ketika tanamannya layu semayu, hadirmu menggantikan tanaman itu. Hujan yang menyuburkan tanahnya seolah tak pernah ada ketandusan. Sama seperti hati ini, disaat bekas luka yang terlihat hanyalah irisan-irisan kecil, hadirmu menjadi obatnya. Kau pungut kepingan-kepingan itu hingga tak tersisa. Kau menjaganya dengan sempurna.

Apakah rasa ini salah? Mungkin waktu itu ragaku yang terikat olehnya, tapi rasa dan jiwa ini berjalan sendirian yang baru pulih dari sakitnya. Lalu ia menemukanmu yang membuatnya tersenyum dan semangat. Rasa ini tidak salah menurutku, hanya pertemuan kita terlalu cepat.

Raga & RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang