Sceptic

1.8K 228 46
                                    

"Hinata, pertumbuhan sel kankernya belum berhenti." Ujar Gaara muram, meski sudah melakukan Radioterapi selama sebulan. Pengobatan ini belum menunjukan hasil berarti.

"Lalu bagaimana?" Hinata menahan air matanya, ia bahkan sudah tidak berdaya diatas ranjang pasien efek dari terapi itu.

Ia juga merasakan bahwa tubuhnya tidak semakin membaik, justru sebaliknya. Perutnya masih terasa sakit saat malam hari bahkan terkadang hingga pagi. Memang ia tidak begitu merasakan sakit di area pinggangnya, hanya saja terkadang terasa kebas.

Hinata tidak ingin kehilangan harapan untuk sembuh, tapi bagaimana bisa ia menahan pikiran buruknya jika tubuhnya saja tidak menunjukan tanda-tanda kesembuhan itu. Mungkin saja, ia akan benar-benar mati sebentar lagi.

"Kita bisa coba terapi hormon, atau jalan terakhir adalah kemoterapi." Gaara tahu, Hinata tidak menginginkan kemoterapi karena beberapa alasan.

"Lakukan apapun asal jangan kemoterapi." Ujar Hinata sambil menggeleng, jauh dalam lubuk hatinya, ia masih memiliki sebuah harapan akan sembuh dalam jangka waktu secepatnya, dan saat ia sembuh nanti dirinya ingin kembali memberikan ASI untuk putrinya, jika ia melakukan kemoterapi, maka ia tidak akan bisa melakukannya.

"Kita bisa jadikan itu opsi terakhir." Gaara tidak akan memaksakan pengobatan yang akan dilakukan pada pasiennya, bagaimanapun pasien memiliki hak atas tubuhnya sendiri.

"Hm." Hinata mengangguk, ia akan pertimbangkan lagi jika memang tidak ada jalan lain.

"Gaara, boleh aku minta tolong sesuatu?" Hinata berujar ragu.

"Ya, tentu saja." Gaara duduk dikursi samping ranjang Hinata.

"Malam ini suamiku akan datang. Selama ini aku selalu mengatakan padanya bahwa pengobatan ini berhasil dan aku akan segera sembuh, aku hanya tidak ingin membuatnya khawatir." Hinata selalu berkata begitu, karena tidak ingin membuat Naruto terbebani seperti waktu itu.

Gaara terenyuh mendengarnya, pasti Hinata sangat mencintai suaminya itu dan entah kenapa ada sedikit rasa tidak rela, selama sebulan ia merawat Hinata jujur ia sempat melupakan kenyataan bahwa Hinata sudah memiliki suami.

"Aku ingin minta tolong padamu untuk tidak menjelaskan detail keadaanku jika dia bertanya nanti." Hinata tidak ingin meminta Gaara berbohong, ia hanya minta Gaara tidak perlu buka suara.

"Apa kau benar-benar tidak ingin memberitahunya?" Gaara tidak mungkin mengelak dari pertanyaan keluarga pasien.

"Hm, dia sedang banyak pekerjaan di Tokyo aku tidak mau menjadi bebannya lagi." Hinata sadar, bahwa pengobatannya saja sudah banyak memakan biaya. Meski Naruto tidak pernah membahas soal uang untuk pengobatannya, ia tahu Naruto menghabiskan banyak uangnya untuk ini. Suaminya itu bahkan menyiapkan kamar rawat VIP di Singapura untuknya.

Setelah menimbang beberapa saat "baiklah, aku akan diam." Gaara menerima permintaan Hinata bukan sebagai dokternya, namun sebagai teman.

"Terima kasih, dan maaf membuatmu repot dengan permintaanku ini."  Hinata benar-benar berterima kasih sekali pada Gaara.

"Jangan berterima kasih." Gaara mengusap punggung tangan Hinata lembut, tidak masalah ia dan Hinata menjadi terbiasa dengan kontak fisik seperti itu dengan batasan layaknya dokter pada pasiennya.
.
.
"Ayah, tanda tangani surat persetujuan turnamenku dulu." Boruto berlari pelan menghampiri ayahnya di depan rumah sedang menyeret koper sambil tangannya sibuk menelepon.

"Hm." Naruto mengangguk, ia bahkan masih harus mengatur urusan pekerjaanya yang akan ia tinggalkan sementara.

"Urus pekerjaan yang sudah deadline terlebih dahulu, untuk berkas sidang akhir bulan simpan saja di meja kerjaku." Perintah Naruto pada orang di seberang telepon.

HopeWhere stories live. Discover now