"Naruto-kun, bagaimana?" Hinata memakai syal nya dan merapikan surainya.
"Sudah cantik sayang." Naruto menyelipkan anak rambut yang turun kewajah cantik istrinya.
"Baiklah." Hinata tersenyum.
Mereka akan melakukan video call dengan Bolt, dan Hinata tidak ingin kelihatan seperti orang sakit didepan putranya. Ia tidak ingin membuat Bolt lebih khawatir lagi.
"Bu..." Boruto memandang layar komputernya dengan tatapan sendu.
Dilayar sebesar 16 inch itu, ayah dan ibunya sedang duduk dikursi halaman rumah sakit.
Beberapa hari yang lalu ayahnya mengirim pesan memberi kabar bahwa ibu telah sadar dari koma. Ia senang bukan main, bahkan ia menangis saat ibunya menelepon setelah hampir dua bulan ia tidak mendengar suaranya.
"Bolt, sedang apa?" Hinata menahan getaran disuaranya, ia sangat merindukan putranya itu.
"Aku menunggu ibu video call sejak pagi tadi." Bolt menyangga kepalanya dengan tangan dan menatap layar komputernya sambil tersenyum.
"Maaf Bolt, ibu baru bisa video call sekarang." Tadi pagi ia masih harus menjalani rangkaian tes menjelang operasi.
"Tidak apa-apa bu, bagaimana keadaan ibu?"
"Ibu sudah semakin membaik Bolt, ayahmu selalu mengajak ibu jalan-jalan ditaman belakang rumah sakit." Hinata terkekeh pelan, ia senang sekali Naruto ada disini. Rasanya sangat berbeda saat ada yang menemaninya disini.
"Syukurlah." Bolt hampir meneteskan airmatanya saat melihat ibunya sudah terlihat jauh lebih sehat dari saat ia di Singapura waktu itu. Surai indahnya diikat rendah dan sudah tidak terlihat pucat. "bu, sebenarnya aku ingin sekali menemani ibu dirumah sakit."
"Terima kasih ya Bolt, ibu janji akan segera pulang." Hinata mengusap sudut matanya yang berair. Ia selalu merasa bersalah karena meninggalkan anak-anak di Jepang. "maafkan ibu, meninggalkanmu terlalu lama."
Bolt tidak bisa menahan airmatanya lagi, akhirnya tumpah juga. Ia sangat menyayangi ibunya, tidak apa di tinggal ke Singapura asal ibu sembuh dan bisa segera pulang kerumah. "jangan minta maaf bu, aku mengerti."
"Bolt, jangan menangis. Ayahmu nanti bisa tertawa melihatmu begini." Hinata tertawa renyah, padahal ia sendiri sudah berlinang airmata dipipi.
Naruto hanya tersenyum sendu, bagaimana ia bisa tertawa disaat seperti ini, dadanya saja terasa sesak mendengar percakapan ibu dan anak itu.
Hinata memberikan ponselnya kepada Naruto "Bolt, hey jangan menangis."
Bolt hanya tertawa pelan sambil menghapus airmatanya. "ayah, apa aku tidak boleh ke Singapura lagi?" ia tidak lelah juga untuk membujuk ayahnya agar diizinkan ke Singapura, sejak mendengar ibunya siuman, ia ingin segera kembali ke Singapura.
"Tidak perlu Bolt, biar ayah yang menemani ibu disini. Kau sudah ketinggalan banyak pelajaran disekolah kan?" Bukan Naruto tidak ingin mengizinkan, hanya saja sekolah putranya itu sangat ketat soal nilai, jadi ia hanya ingin yang terbaik untuk putranya.
Boruto mengangguk, memang ia cukup banyak tertinggal setelah tidak masuk sekolah selama dua pekan waktu itu. "tapi aku sangat ingin menemui ibu."
"Bolt, kita bisa video call lagi setelah ibu operasi nanti." Hinata tidak tega mendengar putranya bicara sedih seperti itu.
Boruto menghela napas, sepertinya memang ia tidak akan diizinkan pergi ke Singapura lagi. "baiklah."
"Oiya Bolt, bagaimana dengan pemilihan ketua Osis nya?" Hinata hampir lupa kalau Bolt sempat mencalonkan diri beberapa waktu lalu.
YOU ARE READING
Hope
FanfictionSEKUEL BEHIND Penyakit itu telah merenggut kebahagiaan keluarga kecil kami yang nyaris sempurna. Sekarang Naruto percaya bahwa Tuhan memang adil, tak ada kehidupan yang benar-benar sempurna. Terkadang Hinata berharap, ini semua hanya mimpi. Bahwa...