2014

14.9K 1.1K 67
                                    

Saat itu dimulai pada tahun 2014.

Dari atas hingga bawah, sempurna. Tak kurang satu pun. Hari ini adalah hari ketiganya menjalani ospek, dan karena tidak ingin kekacauan melanda maka ia telah siap sejakdua jam lalu. Memeriksa bawaannya hingga pakaiannya setiap sepuluh menit sekali.

Tungkainya melangkah ringan memasuki gerbang bertulisan Fakultas Kedokteran, disambut sapaan ramah dari para senior. Bersyukur kampusnya tidak menerapkan ospek yang tidak masuk akal dengan teriakan-teriakan memusingkan. Justru sapaan ramah yang didapat oleh para mahasiswa baru. Kali ini, hanya beberapa materi yang akan mereka dapat serta pengumpulan tugas di awal acara.

Matanya menyelisik sekitar, seolah mencari sesuatu yang berharga. Sang puan dengan tag nama Mentari Adria itu melangkah pelan dengan manik yang tidak lepas pada pandang sekitarnya. Manik mata kelam miliknya menangkap seorang wira dengan perawakan tinggi berkulit putih pucat yang memiliki gaya rambut dandy ala-ala Korea, tampak cocok dengannya.

"Ta!" panggilnya setengah berteriak. Mempercepat langkahnya, menerobos kumpulan mahasiswa yang tengah sibuk merumpi kala itu. Yang dipanggil tidak kunjung menoleh, dan tampak semakin larut dengan pembicaraannya sendiri.

Puk!

Tepukannya tepat pada pundak tegap sang wira dengan hasil seperti yang ia harapkan. "Ke mana aja? Aku nyariin dari tadi,"ujarnya dengan wajah sedikit masam. Yang ditanya hanya menghela napas pelan dengan senyum tipis mengukir. "Aku lagi ngobrol sama yang lain, Ri," sahut wira dengan tag nama Semesta Najandra. Mentari yang sebelumnya tampak tidak senang kini hanya ber-oh ria dengan bibir yang membulat.

Ospek hari itu berjalan seperti biasa, tenang tanpa kegaduhan baik dari panitia maupun dari peserta. Terdengar gelaktawa nyaring dari penjuru aula kala sang senior memberikan leluconnya. Namun, Mentari larut dalam imajinasinya sendiri.Semesta adalah teman pertamanya di universitas, ia baru kenal tiga hari lalu dan kini tampak Semesta telah memiliki teman baru. Mentari terlihat gusar kala memikirkannya, ia takut tidak ada yang ingin berteman dengannya selain Semesta. Mengingat dirinya yang terlalu tertutupterhadap orang baru.

"...ri, ri... Mentari!" Panggilan itu menyadarkannya dari lamunan panjang yang tidak berarti itu. Semesta melambaikanlengannya tepat di hadapan Mentari. "Hei, ngapain ngelamun? Materinya udah kelar, sekarang kita disuruh kumpul, ayo," serunya menyadarkan Mentari sepenuhnya. Tungkainya melangkah mengikuti sang wira, menatap punggung tegap itu. Entah mengapaia merasa nyaman padahal baru mengenalnya selama tiga hari. Secepat itukah ia jatuh cinta? Entahlah.

"Kalian semua nanti akan diarahkan ke masing-masing ruangan untuk mengerjakan sebuah kuis. Cari pertanyaannya lalutulis jawabannya. Paham?" Salah satu panitianya memberi petuah serta peraturannya. Bisik-bisik tetangga pun terdengar oleh Mentari, pura-pura mendengar adalah sesuatu yang seharusnya ia lakukan sekarang.

"Eh kayaknya ini kita bakal masuk ruangan mayat, deh!" "Kata senior aku waktu SMA dulu, nanti kita dimasukin sendiri-sendiri terus di sana ada potongan cadaver!"

Tapi, ia tidak bisa. Semakin mencoba menutup telinga, semakin ia ingin mendengar. Semakin cepat pula degup jantungnya.Keringat dingin membasahi pelipisnya, ia adalah seorang pengecut dalam hal seperti ini. "Enggak usah didengerin. Fokus aja, Ri. Enggak akan seseram itu." Suara bariton itu bak sedatif.

Di sini ia berdiri, dengan mata tertutup kain hitam. Pandangannya gelap, bibirnya tampak bergerak tidak teraturmerapalkan doa pada Tuhan-nya. Mentari yang sejak tadi meredam rasa gugupnya—takut—, kini merasa dua kali lipat lebih takut. Jantungnya seperti akan meledak ketika sang senior berujar pelan, "Di dalam ada guru besar kita semua. Ketika masuk ucapkan salam, doakan beliau, bersikap sopan jangan berbicara yang tidak-tidak apalagi berteriak. Ingat, sopan santun!" pelan, tetapi tegas.

Tenggorokannya terasa seperti gurun, gersang dan tidak nyaman. Ditelannya ludah pelan mencoba memberi kenyamanan pada tenggorokannya. Keringatnya kian membasahi. Mentari melangkah pelan memasuki ruang nomor empat, mulutnya tidak henti-hentinya merapalkan doa kepada Tuhan untuk keselamatan diri dan juga untuk guru besarnya. Wajahnya mengernyit setelah hidungnya menangkap bau menyengat yang berasal dari sekitaran, bau formalin. Sangat menusuk, Mentari menutup hidungnya dengan punggung tangannya. Dibukanya ikatan matanya itu, samar-samar ia melihat apa yang ada di hadapnya. Bergeming ketika apa yang ia lihat semakin jelas penampakannya.

Dewi fortuna seolah memusuhinya, kepala sang guru besar di sana. Di hadapannya, dengan secarik kertas menemani. Air matanya meluncur bersamaan dengan keringat yang membanjiri. Ia maju beberapa langkah, tangannya terkatup dengan mata terpejam erat. Dirapalkannya doa Bapa Kami dan doa lainnya yang ia tahu. Tangannya bergetar hebat, terulur mengambil kertas tersebut. Kemudian mencari tempat yang sedikit jauh dari sang guru besarnya. Bergegas menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ada.

Dua puluh menit berlalu dengan napas memburu serta air mata dan peluh yang membasahi, ia keluar dari ruangan. Memberikan kertas yang bertuliskan jawaban kepada panitia. Mentari yang masih syok mendapati bagian yang tidak pernah terbayang sebelumnya, duduk pada bagian belakang terpisah dari mahasiswa lain. Keadaannya menarik atensi seorang pria kala itu.

"Nih, minum dulu. Kayaknya syok banget gitu." Semesta duduk tepat di sampingnya dengan menyerahkan satu botol air mineral. Disambarnya tanpa suara, dan menenggak air tersebut tanpa sabar. Seolah dehidrasi melanda, ia mencoba mengganticairan tubuhnya yang telah terekskresi.

"Ya, iyalah syok! Aku dapet kepala! Gimana enggak syok, coba?" ucapnya antusias dengan mata yang membulat seolah ia benar-benar syok.

Semesta hanya tersenyum pelan memandangi ekspresi wajah Mentari. Terasa lucu baginya. "Tadi, aku dapet bagian bawah. Mungkin kalau aku dapet bagian yang sama kayak kamu juga syok sih, Ri," ujarnya ramah sembari memperhatikan kerumunan orang-orang di hadapan mereka.

"Kumpul ayo semuanya!" Titah salah satu panitia wanita.

Keduanya beranjak pada posisi masing-masing. Seolah tidak ingin terpisahkan mereka pun baris pada bagian tengah dan membuat seolah dunia hanya milik berdua. Bahkan genggam tangan itu tidak terlepas sedetik pun.

He's Gone

He's Gone [Re-Publish]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang