2015

7.8K 819 60
                                    

Hari Rabu di minggu ketiga tahun 2015, terhitung sudah tiga hari Semesta tidak masuk kuliah. Beberapa waktu lalu, Mentari dan Semesta sempat menikmati waktu jalan-jalan berdua saja. Mentari melakukan hal yang menurutnya sangat memalukan, hingga rasanya untuk menghubungi Semesta adalah sesuatu yang mustahil. Walaupun hanya sekedar bertanya bagaimana keadaan Semesta sekarang.

Mentari tampak begitu tidak bersemangat. Ia memasuki laboratorium parasitologi dengan jas lab yang tersampir di lengan kanannya. Jas lab-nya dijadikan bantalan untuk kepalanya yang kini sudah mendarat di atas meja panjang untuk praktikum itu. Raut wajah suram milik Mentari cukup menggambarkan suasana hatinya yang memang sedang tidak baik. Jelas ia sedang galau berat karena merindukan sang pujaan hati.

"Woi!" Seseorang dengan jas lab yang sudah membalut tubuh menepuk pundak Mentari spontan.

Mentari yang sedang larut dalam dunianya terlonjak begitu mendapati kejutan tersebut.

"Aina! Ngagetin aja." Ia menarik kepalanya dari posisi semula, duduk tegap walau terlihat lesu. Ia memasang jas lab dengan begitu malas. Rasanya hari-hari Mentari sangat sepi tanpa sang pujaan hati.

"Hei, kenapa ko pu wajah muram sekali?" ujar seorang laki-laki dengan rambut ikal dengan logat khas orang Timur, Maruna namanya. Teman baik Mentari sejak zaman mata kuliah agama sekitar satu semester lalu.

Mentari hanya mendengkus pelan dan menggeleng lemah. Rasanya malas sekali untuk berbicara hari ini.

"Semesta ke mana, Ri? Udah berapa hari nih dia enggak masuk?" Aina mulai kepo, juga Maruna yang tampak penasaran.

"Sakit. Kemarin minggu masuk IGD," sahutnya singkat.

Keduanya terdiam, bingung ingin berekspresi seperti apa, harus penasaran atau tidak. Namun pada akhirnya mereka memilih mempersiapkan diri untuk praktikum saja, karena dokter yang tidak kalah killer dengan Dokter Lea sudah duduk manis di depan ruangan.

Mentari menegakkan tubuhnya, menatap sepasang lensa okuler. Satu buah preparat malaria terpasang dengan baik di bawah lensa objektif dengan perbesaran seratus kali.

"Gila, apaan nih cuma bisa ngenalin leukosit sama eritrosit doang," monolognya.

Jari-jarinya lincah memutar mikrometer dan makrometer mikroskopnya. Beberapa kali ia mengerjapkan mata yang terasa perih.

"Ssst, Aina!" Senggol Mentari pada Aina yang begitu fokus.

"Hm?"

"Ini yang mana? Katanya yang kayak pisang?" bisiknya begitu kebingungan.

Maruna yang mendengar bisikan sang puan tertawa tertahan. Tunggu, tidak hanya Maruna tapi seluruh raga yang berada di dalam laboratorium itu ikut mendengarnya.

"Kamu cari apa, Mentari?" Dokternya itu kini beranjak dari duduknya.

Mentari menggeleng cepat. "Enggak, Dok! Udah ketemu, kok."

Aina yang sedari tadi menahan tawanya mendekat pada Mentari yang menatapnya dengan tatapan penuh harapan. Sudah menjadi kebiasaan ia dan Semesta untuk menjadi pengajar kedua bagi Mentari.

"Tari... preparat kamu ini vivax bukan palcifarum," bisik Aina sembari menunjuk preparat yang melekat pada meja mikroskop.

Mentari hanya ber-oh ria dengan cengiran khasnya. Emang vivax sama palcifarum beda banget gitu? Hatinya bergumam. Otaknya seolah menolak materi-materi yang telah diberikan.

Sudahlah Mentari, menyerah saja.

Segala sesuatunya terasa begitu lambat bagi Mentari. Ia mengecek arlojinya setiap sepuluh menit sekali, dirinya ingin sekali keluar dari ruangan yang baginya begitu mencekam. Dokternya yang sejak awal hanya memperhatikan mahasiswa di sekitarnya itu mulai beranjak. Menyampirkan kedua lengannya ke arah belakang, dan melangkah perlahan. "Mentari," panggilnya. Tepat berada di samping kanan belakang Mentari. Mentari yang dipanggil pun hanya menolehkan kepalanya pelan. Jantungnya berdesir begitu keras. Sungguh takut.

He's Gone [Re-Publish]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang